KOLOM | Fakta Semesta

Ilustrasi: YouTube

Oleh Muhammad Natsir Tahar

Pencerapan kita terhadap fakta semesta laksana meloloskan seekor unta dari lubang jarum. Yang paling mungkin dilakukan adalah mengintip unta dari lubang jarum itu. Tentang sebuah apel yang berwarna merah misalnya, tidak ada apel di dunia ini yang berwarna merah. Apel dan semua objek berwarna merah justru menyerap seluruh spektrum warna, kecuali warna merah (yang dianggap melekat pada dirinya) untuk kemudian dipantulkan ke mata kita.

Bintang yang kita lihat di langit malam, bisa jadi adalah kiriman cahaya dari bintang sejuta tahun sebelum nabi Adam diciptakan. Bicara tentang Adam yang diriwayatkan setinggi 60 hasta atau 2.700 cm, tidak bisa disederhanakan dengan purbasangka primitif kita. Adam (harusnya) adalah raksasa tanpa pusar seberat hampir tiga ton, yang akan membuat gempa kecil ketika ia berjalan. Tanpa pusar? Harusnya demikian, karena Adam dan Hawa tak butuh plasenta, mereka tidak tumbuh dari rahim ibu.

Bila bumi berhenti berotasi, maka kita akan terlempar ke timur selaju dua kali lipat kecepatan pesawat komersial. Mengapa pesawat tidak terpengaruh rotasi bumi dengan kecepatan 1.670 kilometer per jam itu? Di bawah atmosfer, pesawat seperti seekor capung di dalam gerbong kereta supersonik.

Mengapa Tuhan tidak mengatakan kepada nabi-nabi Abrahamik bahwa bumi ini bulat dan berputar, sehingga Galileo tidak perlu diburu? Jika bumi tidak bulat, lalu bayangan apa yang sedang menutupi bulan? Fenomena gerhana dan seterusnya. Ketika malam, matahari bukan sedang bersujud, dan sepertiga malam terakhir (ketika Tuhan turun ke langit dunia; jika ingin ditafsirkan secara literal) akan terjadi sepanjang waktu di permukaan bumi.

Kita diturunkan dari DNA purbawi yang menyimpan memori bumi datar, dan tertancap kuat. Sehingga kendati kita tahu dan membaca fakta tentang solar system dan hypergalaxy, alam bawah sadar kita tetap menganggap Tuhan tegak lurus di atas ubun-ubun, sedangkan faktanya, langit itu jungkir balik dan melesat hebat setiap detiknya.

Cara manusia memandang dunia, dianalogikan oleh Donald D. Hoffman dengan metafora desktop komputer dan ikon – ikon desktop komputer menyediakan antarmuka fungsional sehingga pengguna tidak harus berurusan dengan pemrograman dan elektronik yang mendasarinya untuk menggunakan komputer secara efisien.

Pengalaman perseptual manusia tidak cocok untuk mendekati sifat-sifat dunia objektif, melainkan menyediakan antarmuka pengguna yang disederhanakan, manusia tidak berevolusi untuk memahami dunia sebagaimana adanya tetapi telah berevolusi untuk memahami dunia dengan cara memaksimalkan kesesuaian.

Fakta semesta adalah seperti seekor unta yang kita intip dari lubang jarum. Kita justru akan berada dalam kebodohan total, jika berada jauh dari lubang jarum ini. Apalagi menganggap diri sudah tahu segalanya. Sains itu menakutkan, perlu keberanian untuk mendekatinya, kata Richard Dawkins. ~

-
mgid.com, 846953, DIRECT, d4c29acad76ce94f