Ilustrasi keluarga. (Foto: Media Indonesia)

JAKARTA (marwahkepri.com) – Tren penurunan pernikahan di Indonesia yang dibarengi dengan meningkatnya angka perceraian menjadi perhatian serius.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada tahun 2022 terdapat lebih dari 500 ribu kasus perceraian, meningkat dari sekitar 460 ribu pada tahun sebelumnya, yaitu tahun 2021.

Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo, mengaitkan fenomena ini dengan munculnya “toxic people”.

Selain karena banyak individu yang menunda pernikahan, tingkat egoisme di masyarakat juga meningkat, yang mengakibatkan kesulitan dalam memahami dan menghargai pasangan,” katanya, Kamis (7/3/2024).

“Toxic people” dalam konteks ini merujuk pada individu yang mungkin mengalami gangguan kejiwaan atau memiliki perilaku yang merugikan. Kehadiran individu dengan perilaku tersebut membuat sulit bagi individu lain untuk membentuk komitmen yang sehat dalam membangun hubungan dan keluarga.

Menurut Hasto, fenomena ini tidak terbatas pada kota-kota besar saja, melainkan merata di hampir seluruh wilayah Indonesia. Bahkan, angka kesuburan wanita di beberapa daerah mencatat angka Total Fertility Rate (TFR) di bawah dua, yang menandakan penurunan jumlah anak per wanita. Padahal, untuk menjaga populasi agar tidak mengalami penurunan, idealnya TFR adalah 2,1.

Faktor-faktor seperti keinginan untuk menunda pernikahan, memiliki pasangan, atau anak, berdampak pada fenomena ini. Hasto juga mengingatkan bahwa penurunan jumlah anak secara drastis juga akan berdampak pada bonus demografi yang cepat menutup. Oleh karena itu, perlu upaya serius untuk mengatasi tren penurunan pernikahan dan meningkatkan pemahaman tentang pentingnya hubungan dan keluarga yang sehat. MK-mun

Redaktur: Munawir Sani

-
mgid.com, 846953, DIRECT, d4c29acad76ce94f