Ketegangan di Kongo: Pemberontak M23 Masuki Kota Bukavu

Ketegangan di Kongo: Pemberontak M23 Masuki Kota Bukavu

Ilustrasi Foto Kota Bukavu. (F: Ist)

JAKARTA – Kelompok pemberontak M23 yang didukung Rwanda telah memasuki Bukavu, kota terbesar kedua di wilayah timur Republik Demokratik Kongo, pada Jumat (14/2/2025). Seorang pemimpin kelompok tersebut mengonfirmasi bahwa pasukan mereka kini menguasai bagian kota, sementara warga melaporkan keberadaan militan di jalan-jalan distrik utara Bukavu.

Penguasaan Bukavu menandai ekspansi besar M23 sejak kembali melancarkan pemberontakan pada 2022. Keberhasilan ini semakin melemahkan otoritas pemerintah Kongo di wilayah timur, setelah sebelumnya mereka juga merebut Goma, kota terbesar di kawasan tersebut, pada akhir Januari.

M23 Kuasai Bandara, Pasukan Pemerintah Mundur

Sebelum memasuki Bukavu, M23 terlebih dahulu menguasai Bandara Kavumu, yang terletak di utara kota. Militer Kongo (FARDC) mengonfirmasi bahwa bandara jatuh ke tangan pemberontak dan pasukan mereka telah ditarik bersama peralatan militer.

Juru bicara FARDC, Sylvain Ekenge, tidak menjelaskan ke mana pasukan pemerintah mundur. Namun, sumber dari PBB serta beberapa warga melaporkan bahwa tentara Kongo dan Burundi terlihat meninggalkan kamp militer utama Saio di Bukavu.

“Mereka mundur untuk menghindari pertempuran di daerah padat penduduk,” kata seorang warga yang tinggal di dekat kamp tersebut.

Sejumlah warga di distrik Bagira juga melaporkan melihat pasukan pemberontak di jalanan tanpa adanya perlawanan besar dari FARDC.

“Seragam mereka berbeda. Kami sudah bersiap sejak siang untuk kedatangan mereka… Pasukan FARDC sudah pergi. Tidak ada bentrokan,” kata seorang warga bernama Helene.

Situasi di Bukavu masih tegang, dengan ribuan pengungsi dari wilayah sekitar mulai memasuki kota yang sebelumnya telah dihuni oleh 1,3 juta penduduk.

Presiden Tshisekedi Minta Dukungan Internasional

Sementara itu, Presiden Kongo Félix Tshisekedi mencari dukungan global untuk menghentikan konflik ini. Dalam pidatonya di Konferensi Keamanan Munich, ia memperingatkan bahwa perang bisa menyebar ke negara-negara tetangga di Afrika Tengah.

“Saya kembali menyerukan kepada dunia internasional untuk menuntut pertanggungjawaban Rwanda atas perannya dalam konflik ini. Ini adalah tugas komunitas internasional untuk mencegah perang semakin meluas,” tegas Tshisekedi.

Pemerintah Kongo telah lama menuduh Rwanda mendukung M23—tuduhan yang diperkuat oleh laporan PBB dan negara-negara Barat. Namun, Rwanda membantah, dengan alasan mereka hanya melindungi diri dari ancaman kelompok milisi Hutu yang beroperasi di Kongo dan bersekutu dengan FARDC.

Konflik ini menjadi perhatian utama dalam KTT Uni Afrika di Addis Ababa akhir pekan ini. Namun, Presiden Tshisekedi memilih mengirim Perdana Menterinya sebagai perwakilan.

Tudingan Terhadap Kabila, Bantahan dari Oposisi

Dalam pidatonya di Munich, Tshisekedi juga menuding mantan presiden Joseph Kabila bersekongkol dengan M23 dan Rwanda untuk mengguncang stabilitas Kongo.

“Dalang sebenarnya dari konflik ini bersembunyi. Aktor utama yang mendukung oposisi ini adalah pendahulu saya, Joseph Kabila,” ujarnya.

Tudingan ini segera dibantah oleh kubu Kabila. Barbara Nzimbi, penasihat komunikasi Kabila, menyebut pernyataan Tshisekedi sebagai strategi mencari kambing hitam.

“Saya sepenuhnya menyangkal tuduhan ini. Tetapi inilah kebiasaan Mr. Tshisekedi—mencari kambing hitam daripada mencari solusi,” tegas Nzimbi.

M23 dan Ancaman Perang Regional

Kelompok pemberontak M23, yang sebagian besar berasal dari etnis Tutsi, telah berulang kali bertempur melawan pemerintah Kongo sejak 2012. Mereka menuntut hak lebih besar bagi etnis Tutsi dan menuduh pemerintah mendukung kelompok milisi yang menyerang komunitas mereka.

M23 pernah menguasai Goma pada 2012 sebelum dipukul mundur oleh pasukan gabungan Kongo dan PBB. Namun, sejak 2022, kelompok ini kembali mengangkat senjata dan merebut wilayah strategis, termasuk Goma dan kini Bukavu.

Konflik ini berisiko memicu perang regional yang lebih luas, dengan keterlibatan Rwanda, Burundi, dan Uganda. Jika diplomasi gagal meredakan ketegangan, eskalasi pertempuran kemungkinan besar akan meningkat dalam beberapa pekan mendatang. Mk-cnbc

Redaktur: Munawir Sani