Ada Dugaan Mafia Tanah di Batam, Komisi VI DPR RI Gelar RDPU dengan PT Dani Tasha Lestari

omisi VI DPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan manajemen PT Dani Tasha Lestari di Gedung DPR RI, Selasa (4/2/2025). (Foto: kompas)
JAKARTA (marwahkepri.com) — Komisi VI DPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan manajemen PT Dani Tasha Lestari yang diduga menjadi korban praktik mafia tanah.
Ketua Komisi VI DPR RI, Anggia Ermarini, menyebutkan bahwa audiensi ini penting karena kasus tersebut diduga melibatkan oknum dari Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam).
“Terkait dengan permasalahan pencabutan pengalokasian lahan dan perobohan bangunan akibat adanya dugaan praktik mafia lahan dan oknum di Badan Pengusahaan Batam,” ujar Anggia di Gedung DPR RI, Selasa (4/2/2025).
Anggia menegaskan bahwa BP Batam adalah mitra kerja Komisi VI DPR RI, sehingga pihaknya perlu memahami kronologi kasus ini secara langsung. Ia juga menyoroti bahwa persoalan ini berpotensi mengganggu kondusivitas iklim investasi di kawasan strategis Batam.
“Terkait pencabutan pengalokasian lahan dan perobohan bangunan Hotel Pura Jaya di Batam, mengingat kondisi ini dapat mengganggu kondusivitas iklim investasi di kawasan strategis Batam,” jelas Anggia.
Kuasa hukum PT Dani Tasha Lestari, Emerson Tarihoran, menjelaskan bahwa kliennya telah memiliki lahan seluas 30 hektar sejak 1988 dan 1993. Lahan ini digunakan untuk hotel bintang lima seluas 10 hektar dan fasilitas pendukung di atas 20 hektar lainnya.
Namun, pada 20 Agustus 2019, perusahaan menerima surat pemberitahuan dari BP Batam yang menyatakan bahwa alokasi lahan 10 hektar telah berakhir, meskipun perusahaan sudah mengajukan permohonan penundaan pembayaran.
“Kami memang terlambat membayar, tetapi klien kami siap membayar denda. Keterlambatan hanya 11 bulan, dan pada September 2019, kami sudah siap melunasi,” ujar Emerson.
Selain itu, perusahaan sempat melakukan presentasi perpanjangan izin pada November 2019, namun ditolak tanpa alasan yang jelas. Penolakan tersebut bahkan dilakukan meski PT Dani Tasha Lestari didampingi konsultan yang ditunjuk langsung oleh BP Batam.
“Alasannya, menurut Direktur Lahan BP Batam saat itu, presentasi kami tidak menarik. Padahal, konsultan yang mendampingi adalah pihak yang ditunjuk sendiri oleh BP Batam,” tambah Emerson.
Emerson juga menyoroti bahwa pencabutan lahan dilakukan tanpa mengikuti prosedur yang semestinya. Surat Keputusan (SK) yang seharusnya diterbitkan untuk mencabut izin lahan, tidak pernah dikeluarkan. Sebaliknya, pencabutan hanya dilakukan melalui surat pemberitahuan.
“Ketika alokasi lahan diberikan, ada SK. Maka, seharusnya pencabutannya juga dilakukan dengan SK, bukan hanya surat pemberitahuan,” tegas Emerson.
Untuk lahan 20 hektar, pencabutan dilakukan pada tahun 2020 melalui SK Nomor 89 Tahun 2020, meskipun lahan tersebut seharusnya masih menjadi hak perusahaan hingga 2023. BP Batam berdalih tidak ada pembangunan di lahan tersebut, padahal terdapat powerhouse, mes karyawan, taman bermain, serta fasilitas pendukung lainnya.
Meskipun PT Dani Tasha Lestari masih menempuh upaya hukum, BP Batam tetap melaksanakan perobohan bangunan pada 21 Juni 2023. Perusahaan telah meminta agar eksekusi ditunda, tetapi permohonan tersebut diabaikan.
“Kami sudah meminta agar proses pengosongan ditunda karena kami sedang menempuh jalur hukum. Namun, permohonan itu tidak digubris, dan pada 21 Juni, bangunan hotel dirobohkan,” kata Emerson.
Perusahaan telah melaporkan kasus ini ke pihak kepolisian, tetapi hingga kini belum ada perkembangan signifikan meskipun sudah ada puluhan saksi yang diperiksa.
Emerson berharap Komisi VI DPR RI dapat membantu menyelesaikan permasalahan ini, mengingat kasus tersebut tidak hanya berdampak pada PT Dani Tasha Lestari, tetapi juga berpotensi merusak kepercayaan investor di Batam.
“Kami berharap Pimpinan Komisi VI DPR RI dapat membantu dalam penyelesaian permasalahan ini,” pungkas Emerson. MK-mun/kom
Redaktur: Munawir Sani