Liburan Pejabat Daerah Kembali Jadi Sorotan, Media Sosial Jadi Panggung Pengawasan Publik

Lucky Hakim kena tegur Dedi Mulyadi (Instagram)
JAKARTA (marwahkepri.com) – Perjalanan liburan Bupati Indramayu, Lucky Hakim, ke Jepang kembali mengangkat diskursus lama: bolehkah pejabat publik mengambil waktu untuk berlibur, dan sejauh mana transparansi terhadap publik diperlukan?
Sorotan tajam datang dari Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang menyindir langsung lewat unggahan TikTok dan Instagram pribadinya. Ia menyelipkan komentar sarkastik, “Selamat berlibur Pak Lucky Hakim. Nanti kalau ke Jepang lagi, bilang dulu ya.” Komentar ini mengundang gelombang reaksi netizen, menjadikan unggahan tersebut viral dengan lebih dari 71 ribu suka dan ribuan komentar.
Dinamika media sosial dan ekspektasi publik Fenomena ini menggambarkan bagaimana media sosial mengubah relasi antara pejabat dan publik. Warganet kini bukan sekadar penonton, tapi juga pengawas aktif. Dalam hitungan jam, perjalanan pribadi seorang pejabat bisa menjadi polemik nasional.
Sebagian netizen membela Lucky Hakim, menilai bahwa cuti atau liburan adalah hak setiap pekerja, termasuk kepala daerah. Namun sebagian lain menganggap waktu dan cara liburan yang dilakukan kurang etis, apalagi di tengah isu banjir rob yang kembali melanda sejumlah wilayah Indramayu.
Etika pejabat dan transparansi cuti Tidak ada aturan hukum yang melarang bupati berlibur selama prosedur cuti dipenuhi. Namun, muncul pertanyaan etis: apakah perlu menyampaikan ke publik atau kepada atasan, terutama jika destinasi liburannya ke luar negeri?
“Walaupun cuma koordinasi, gubernur memang perlu tahu kalau di bawahnya ada yang cuti jauh. Jadi bisa jaga-jaga kalau ada apa-apa darurat,” komentar salah satu netizen yang menekankan pentingnya koordinasi antar pejabat.
Pejabat vs Publik: Siapa yang seharusnya memahami siapa? Kejadian ini membuka perbincangan lebih luas mengenai batas antara kehidupan pribadi pejabat dengan tanggung jawab publik. Publik, terutama warga Indramayu, merasa kecewa jika seorang pemimpinnya absen di saat ada masalah yang belum terselesaikan.
“Warga lagi banyak keluhan, pak. Banjir rob di Desa Eretan Wetan mulai datang lagi. Apa solusi konkret sesuai janji saat kampanye?” tulis netizen lain.
Liburan bukan sekadar pergi, tapi juga pesan Liburan pejabat seperti Lucky Hakim mungkin sah secara administratif, tapi di era keterbukaan dan digital ini, semua langkah publik figur punya konsekuensi komunikasi. Saat warga merasakan ketimpangan pelayanan atau krisis, liburan bisa dilihat bukan sebagai hak pribadi, tapi sinyal pengabaian—meski niatnya tidak seperti itu.
Kesimpulan Polemik ini menegaskan satu hal: pejabat tidak lagi bisa mengatur narasi sendiri. Publik ikut menilai, menuntut, dan merekam. Maka, transparansi, komunikasi, dan kepekaan menjadi bekal penting—bahkan saat sekadar ingin berlibur. MK-dtc
Redaktur : Munawir Sani