Menghapus Pilkada Langsung: Kembali ke Sistem yang Sudah Ditinggalkan
JAKARTA – Beberapa waktu terakhir, Presiden Prabowo mengemukakan wacana penghapusan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung. Dalam usulan ini, kepala daerah akan dipilih secara tidak langsung oleh DPRD setempat, mirip dengan sistem yang berlaku pada masa Orde Baru, di mana MPR memiliki kewenangan untuk memilih presiden sebagai pimpinan lembaga eksekutif.
Wacana ini sebenarnya bukan hal baru. Pada tahun 2014, rencana serupa hampir saja terealisasi, namun dibatalkan oleh Presiden SBY melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Sistem ini kembali memunculkan perdebatan tentang arah demokrasi di Indonesia dan relevansinya dengan semangat reformasi.
Memahami Sistem “MPR” atau Sistem “Bukan-Bukan”
Dalam konteks sistem politik, sistem “MPR” adalah hibrida antara sistem parlementer dan sistem presidensial. Akan tetapi, sistem ini tidak sepenuhnya mengadopsi kedua sistem tersebut secara utuh, melainkan hanya mengambil elemen tertentu yang dianggap menguntungkan.
Ciri utama sistem ini adalah:
- Pemimpin Eksekutif Dipilih oleh Legislatif
Kepala eksekutif, baik presiden maupun kepala daerah, dipilih oleh parlemen (MPR atau DPRD), mirip dengan sistem parlementer. - Masa Jabatan Tetap (Fixed Term)
Kepala eksekutif memiliki masa jabatan yang pasti, sebagaimana sistem presidensial, tetapi tidak dapat dijatuhkan oleh parlemen kecuali dengan dukungan mayoritas (50% atau lebih). - Minimnya Mekanisme Check and Balances
Sistem ini memberikan kekuasaan besar kepada eksekutif tanpa adanya mekanisme pengawasan yang seimbang.
Kelemahan utama dari sistem “MPR” adalah potensi otoritarianisme akibat konsentrasi kekuasaan di tangan eksekutif. Selain itu, terdapat ketidaksinkronan sistem antara pusat dan daerah. Di tingkat pusat, presiden tetap dipilih langsung oleh rakyat, sementara kepala daerah hanya dipilih oleh DPRD. Ketidakkonsistenan ini menciptakan potensi konflik legitimasi.
Motif di Balik Wacana Penghapusan Pilkada Langsung
Alasan utama yang sering dikemukakan oleh para pendukung wacana ini adalah tingginya biaya politik dalam pelaksanaan pilkada langsung. Pemilu dianggap menjadi akar persoalan dari budaya politik yang mahal dan melelahkan. Namun, persoalan sebenarnya adalah budaya klientelisme dan politik uang yang sudah lama mengakar di Indonesia.
Sejak era Reformasi, demokrasi di Indonesia telah berkembang melalui pemilihan presiden langsung, sistem proporsional terbuka, dan pemilihan kepala daerah langsung. Pilkada langsung memberikan kesempatan kepada rakyat untuk memilih pemimpin mereka secara langsung dan mengurangi potensi penguasaan elite politik terhadap proses politik.
Sebagai contoh, pilkada langsung telah melahirkan politisi dari latar belakang non-elite. Seorang pengusaha mebel bisa menjadi presiden karena melalui proses kaderisasi politik yang dimulai dari bawah sebagai wali kota, kemudian gubernur, dan akhirnya presiden.
Selain itu, sistem ini memberikan pengalaman berharga bagi seorang politisi untuk memimpin dan berkompetisi secara elektoral sebelum menduduki jabatan lebih tinggi.
Dampak Negatif Penghapusan Pilkada Langsung
Jika wacana penghapusan pilkada langsung benar-benar diterapkan, maka beberapa dampak buruk yang mungkin terjadi adalah:
- Kaderisasi Politik Melemah
Pilkada langsung selama ini menjadi wadah kaderisasi politik yang penting. Tanpa proses ini, sulit membayangkan politisi non-elite mampu menduduki jabatan tinggi. - Legitimasi Kepala Daerah Berkurang
Kepala daerah yang dipilih oleh DPRD mungkin kehilangan legitimasi di mata masyarakat karena tidak dipilih langsung oleh rakyat. - Potensi Korupsi Meningkat
Pemilihan oleh DPRD berpotensi membuka ruang bagi transaksi politik atau politik uang antara calon kepala daerah dan anggota DPRD.
Perbaikan Sistem yang Dibutuhkan
Daripada menghapus pilkada langsung, seharusnya fokus diarahkan pada perbaikan sistem politik secara menyeluruh. Beberapa langkah yang dapat dilakukan meliputi:
- Meningkatkan Transparansi dan Akuntabilitas
Menerapkan sistem pengawasan yang lebih ketat untuk meminimalkan praktik politik uang. - Penguatan Peran Partai Politik
Partai politik harus lebih berperan aktif dalam mencetak kader yang kompeten dan berintegritas. - Penyederhanaan Sistem Pemilu
Sistem pemilu dapat diperbaiki untuk mengurangi biaya politik, seperti penggunaan teknologi dalam proses pemungutan suara.
Refleksi dan Masa Depan Demokrasi Indonesia
Demokrasi di Indonesia memang tidak sempurna. Keberadaan politik klientelisme, money politics, dan rendahnya kualitas pemilih kritis adalah tantangan nyata yang harus diatasi. Namun, menghapus pilkada langsung bukanlah solusi yang tepat.
Jika elite politik merasa “lelah berdemokrasi,” mungkin sudah saatnya mempertimbangkan penerapan sistem parlementer secara penuh. Dalam sistem ini, parlemen memiliki kewenangan untuk memilih dan menjatuhkan kepala eksekutif. Namun, mengambil elemen-elemen tertentu dari sistem parlementer dan presidensial tanpa mengadopsinya secara utuh hanya akan membawa Indonesia ke arah yang lebih buruk.
Wacana penghapusan pilkada langsung harus ditinggalkan. Demokrasi Indonesia telah melalui perjalanan panjang untuk sampai pada tahap ini. Menghapus pilkada langsung berarti mengkhianati semangat reformasi dan membawa kita kembali ke sistem “yang bukan-bukan.”
Mk-detik
Redaktur: Munawir Sani