OTT KPK Dianggap Hanya Drama Kolosal untuk Menutupi Kelemahan Menuntaskan Mega Korupsi Warisan Rezim
Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak, dalam konferensi pers, di Gedung KPK, Rabu (5/11). F: Rachel Farahdiba
JAKARTA (MK) – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mengumumkan keberhasilan Operasi Tangkap Tangan (OTT) di daerah, kali ini menyasar Gubernur Riau, Abdul Wahid. Namun, alih-alih panen pujian, operasi ini justru menuai kritik tajam. OTT, yang belakangan rutin diekspos, dinilai hanyalah kosmetik pencitraan dan bukan parameter keberhasilan institusi anti-rasuah ini.
Kasus yang menjerat Gubernur Riau, yang disebut-sebut terkait dengan fee 2,5% hingga 5 % dari kenaikan anggaran dan melibatkan uang gratifikasi dengan nilai relatif kecil, seakan menjadi komparasi yang menyakitkan terhadap ketidakmampuan KPK membongkar kasus-kasus korupsi yang jauh lebih kolosal.
Perbandingan Absurd: Miliaran Rupiah vs. Ribuan Triliunan Uang Rakyat
Dalam kasus Gubernur Riau, kronologi yang disajikan KPK sendiri dinilai janggal dan dipaksakan. Analisis hukum dan publik menyebut bahwa proses penangkapan lebih menyerupai pengembangan kasus lama yang minim bukti penyerahan uang secara langsung (tertangkap tangan), alih-alih operasi tangkap tangan yang sesungguhnya.
Yang paling mendasar, kasus ini berputar pada dugaan gratifikasi atau pemerasan yang uangnya cenderung tidak berasal langsung dari kas negara. Praktik ini lebih diidentifikasi sebagai fenomena ‘jatah preman’ atau ekstorsi yang berpotensi menurunkan kualitas proyek infrastruktur daerah.
Kritik Keras terhadap Strategi KPK:
Sejumlah pihak menilai KPK di saat gagal menunjukkan kinerja dalam case building untuk kasus-kasus besar dengan kerugian negara masif. Juru bicara KPK sempat menyatakan bahwa mereka kini fokus pada kasus kerugian negara yang besar karena pembuktian OTT cenderung mudah. Namun, pendapat lain muncul dari pegiat hukum seperti IM57+ Institute, yang menyebut KPK justru mencatat rekor terburuk dalam melakukan OTT pada tahun 2024 dan menyoroti bahwa OTT adalah metode yang sulit diintervensi Istana maupun kekuatan politik.
Tokoh publik seperti Luhut Binsar Pandjaitan bahkan mengkritik OTT sebagai upaya yang “bikin jelek negeri” dan menyebut pemikiran yang senang dengan OTT adalah “kampungan”, karena fokus seharusnya pada pencegahan melalui digitalisasi ekosistem dan [seharusnya] pada kasus besar yang secara nyata merugikan keuangan negara.
Ketidakseimbangan ini menempatkan OTT sebagai pengalihan isu semata. Masyarakat kini mendesak, jika KPK mampu bergerak cepat untuk kasus kepala daerah yang bernilai jutaan hingga miliaran Rupiah, mengapa komisi anti-rasuah ini lumpuh di hadapan mega-korupsi yang merugikan negara dalam jumlah yang tak terbayangkan?
PR Besar KPK: Mega-Korupsi Warisan Rezim Jokowi
Tantangan terbesar KPK saat ini adalah membersihkan tumpukan mega-korupsi yang diwariskan atau muncul masif di bawah rezim Presiden Joko Widodo. Kasus-kasus ini jauh lebih mendesak dan dampaknya pada keuangan serta pembangunan negara bersifat sistemik.
Indonesia Corruption Watch (ICW) dan berbagai lembaga sipil menyoroti bahwa pelemahan KPK secara sistematis melalui perubahan Undang-Undang KPK dan isu internal (seperti TWK) yang terjadi di era Jokowi telah mengakibatkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia anjlok dari 38 menjadi 34 pada tahun 2022. Hal ini menunjukkan kegagalan total dalam pemberantasan korupsi di masa rezim saat ini.
KPK didesak untuk mengalihkan fokus dari OTT daerah ke beberapa proyek raksasa yang hingga kini luput dari pengusutan tuntas, termasuk:
- Proyek Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung: Pembengkakan biaya (cost overrun) yang mencapai puluhan triliun Rupiah, membebani keuangan negara, dan diduga terjadi tanpa akuntabilitas yang jelas.
- Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN): Transparansi anggaran dan pengadaan yang harus diusut tuntas sebelum dana rakyat semakin terkuras.
- Sektor Pertambangan Nikel dan Hilirisasi: Dugaan korupsi perizinan tambang, manipulasi volume ekspor, dan kerugian negara yang fantastis di sektor nikel yang masif digenjot oleh pemerintah.
Rakyat menuntut KPK untuk fokus pada triliunan uang negara yang dicuri, bukan jutaan uang gratifikasi, dan membongkar tuntas akar korupsi politik di level tertinggi yang telah melumpuhkan lembaga antirasuah itu sendiri
Kronologi OTT Gubernur Riau oleh KPK Dinilasi Absurd dan Dipaksakan
Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Gubernur Riau, Abdul Wahid (AW), belakangan ini menuai kritik tajam dan keraguan dari berbagai pihak. Alih-alih mendapatkan pujian, lembaga antirasuah ini justru dituding memaksakan pengungkapan kasus dengan mengekspose kronologi yang dinilai absurd, minim pembuktian langsung, dan kental dengan nuansa politik.
Para pegiat hukum menilai bahwa rangkaian peristiwa yang dijelaskan oleh KPK tidak memenuhi unsur-unsur dasar sebuah operasi tangkap tangan yang sesungguhnya.
Kejanggalan Kronologi dan Minimnya Bukti Langsung
Menurut analisis dari kalangan hukum seperti pada link Kejanggalan OTT Gubernur Riau (Abdul Wahid), konstruksi kasus yang disampaikan oleh KPK lebih menyerupai pengembangan penyelidikan, bukan OTT yang seharusnya dilakukan pada saat atau sesaat setelah tindak pidana terjadi.
- Keterlibatan Langsung AW Diragukan: Bukti konkret mengenai permintaan fee sebesar 2,5% yang berkembang menjadi 5 % dari AW kepada Kepala Dinas (Kadis) PUPR PKPP masih dipertanyakan, karena hingga kini KPK belum merilis bukti rekaman atau pertemuan langsung.
- Aliran Dana Tak Langsung: Penyerahan uang sebesar Rp1,6 miliar pada bulan Juni diserahkan kepada tenaga ahli, bukan kepada AW secara langsung. Begitu pula penyerahan pada bulan Agustus yang diserahkan kepada supir dan disimpan pribadi oleh sekretaris PUPR.
- Penangkapan Bukan “Tangkap Tangan”: Dugaan penyerahan uang tunai Rp800 juta pada bulan November yang katanya diterima langsung oleh AW juga dinilai tidak memiliki bukti ril di mana dan kapan kejadian itu berlangsung. Terkait penangkapan AW di sebuah kafe, klaim bahwa ia melarikan diri juga dibantah dan disebut “ambigu,” karena AW dijemput dan tidak melarikan diri ke luar kota apalagi ke luar negeri.
Isu Politik dan Pengalihan Isu
Keraguan publik semakin menguat setelah KPK juga memasukkan narasi “matahari itu hanya ada satu” yang diucapkan AW di awal masa jabatannya. Narasi ini oleh KPK diinterpretasikan sebagai arogansi kekuasaan. Namun, kalangan internal di Riau menilai pernyataan tersebut lebih berkaitan dengan ketegangan antara Gubernur dan Wakil Gubernur, bukan korelasi langsung dengan dugaan tindak pidana korupsi.
Nuansa politis ini dikhawatirkan sengaja digunakan untuk membenarkan penindakan hukum, di mana kasus kepala daerah seringkali menjadi sasaran empuk untuk pengalihan isu politik tertentu.
OTT Bukan Parameter Keberhasilan KPK
Bersamaan dengan kasus ini, berbagai pihak mendesak KPK untuk menghentikan euforia OTT, yang dianggap bukanlah parameter keberhasilan sesungguhnya dari komisi antirasuah.
- Fokus ke Mega-Korupsi: KPK dikritik keras agar segera fokus kepada kasus-kasus korupsi yang benar-benar merugikan keuangan negara hingga ribuan triliun Rupiah. Sejumlah kebocoran dan korupsi masif terjadi, namun tak mampu ditangani oleh komisi antirasuah ini.
- OTT Gratifikasi vs. Kerugian Negara: Kasus-kasus OTT yang biasanya terkait dengan gratifikasi, di mana uangnya tidak berasal dari kas negara, dinilai hanya sebagai pencitraan. Sementara itu, mega-korupsi yang melibatkan penggelapan uang negara dan merusak sistem secara struktural terus luput dari pengawasan KPK.
PR terbesar dan tantangan terberat KPK saat ini adalah mengusut tuntas tumpukan mega-korupsi yang diwariskan oleh rezim Joko Widodo. Dengan sumber daya dan kewenangan yang dimilikinya, KPK diharapkan mampu membuktikan taringnya dengan menangani kasus-kasus besar tersebut, bukan hanya menyasar kasus-kasus daerah yang kronologinya masih dipertanyakan. MK-r
Redaktur: Munawir Sani
