SOROT: Membongkar Moral dan Regulasi di Balik Hibah Rp53 Miliar Pemko Batam untuk Lembaga Vertikal

Kepala Badan Kesbangpol Kota Batam, Riama Manurung. (dok.rmnews)
BATAM (MK) – Ketika warga Batam masih bergelut dengan masalah klasik seperti sampah, banjir, mahalnya biaya hidup, minimnya kuota sekolah negeri, serta layanan kesehatan yang belum merata, Pemerintah Kota Batam justru membuat keputusan mengejutkan: mengalokasikan hibah sebesar Rp53 miliar dari APBD 2025 kepada sejumlah lembaga vertikal yang sejatinya bukan bagian dari struktur Pemko.
Angka jumbo ini mencakup hibah Rp16,5 miliar kepada Kejaksaan Negeri Batam, serta sisanya tersebar untuk Polda Kepri, Polresta Barelang, Kodim 0316, Pengadilan Negeri Batam, Imigrasi, Polisi Militer, Bakamla, hingga Mako Yonif.
Menurut Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kota Batam, Riama Manurung, permintaan hibah dari Kejari Batam telah melalui pembahasan antara Badan Anggaran (Banggar) DPRD Kota Batam dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Riama juga menyebutkan bahwa pihaknya hanya sebagai pelaksana dari keputusan politik tersebut.
Namun pernyataan ini tak serta-merta menyelesaikan keresahan publik. Proses pembahasan formal bukan jaminan bahwa sebuah kebijakan bebas dari kepentingan tersembunyi atau kekeliruan etik. Justru di situlah pertanyaan mendasar muncul: apakah secara moral dan regulatif, uang rakyat sah digunakan untuk membiayai lembaga-lembaga vertikal yang tidak memiliki garis koordinasi langsung dengan pemerintah daerah?
Secara hukum, memang terdapat celah bagi pemerintah daerah untuk memberikan hibah kepada instansi vertikal melalui mekanisme yang diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah. Namun, pemberian hibah tersebut harus memenuhi prinsip selektif, transparan, dan akuntabel, serta tidak mengganggu pelayanan dasar masyarakat.
Sayangnya, dalam kasus ini, publik melihat gejala sebaliknya. Ketua Kelompok Diskusi Anti 86 (Kodat86), Cak Ta’in Komari, menyoroti inkonsistensi Pemko Batam dalam menempatkan prioritas anggaran. Ia mempertanyakan mengapa anggaran untuk lemari dan partisi ruang kerja Kejari dianggap lebih mendesak ketimbang peningkatan layanan air bersih, penanganan banjir, atau penyediaan lahan sekolah negeri.
“Jika Kejaksaan atau lembaga vertikal lain membutuhkan pembangunan gedung, itu tugas kementerian teknis atau lembaga pusat. Bukan Pemko. Ini bukan hanya soal legalitas, tapi soal moral anggaran dan kemurnian niat di baliknya,” ujar Cak Ta’in.
Sorotan tajam juga datang dari potensi konflik kepentingan antara Pemko Batam sebagai eksekutif daerah dan Kejaksaan sebagai institusi penegak hukum yang salah satu tugasnya mengawasi dan menyidik dugaan korupsi APBD. Bagaimana publik bisa yakin bahwa kejaksaan akan bertindak objektif jika dalam operasionalnya dibiayai oleh pihak yang mungkin suatu saat harus diperiksa?
Kondisi ini semakin mengkhawatirkan ketika sebagian dari pembangunan fasilitas di lingkungan Kejari Batam tidak mencantumkan plang proyek, sehingga nilai kontrak dan pihak pelaksana tidak diketahui publik. Minimnya transparansi pada proyek yang dibiayai uang rakyat justru terjadi di lembaga hukum yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam keterbukaan.
Di Antara Legalitas dan Kepatutan Publik
Pakar kebijakan publik menilai, legalitas sebuah kebijakan tak boleh menjadi tameng untuk mengabaikan kepatutan moral dan akuntabilitas publik. Dalam demokrasi yang sehat, anggaran harus selalu diuji melalui kacamata kemanfaatan sosial dan keadilan anggaran.
Sebab bagaimana pun juga, uang hibah tersebut berasal dari pajak rakyat, bukan dari kantong pribadi pejabat. Maka, alokasi Rp53 miliar untuk instansi vertikal yang tidak secara langsung memberikan layanan kepada masyarakat sipil, menimbulkan pertanyaan lebih luas: Kepada siapa sesungguhnya anggaran ini berpihak?
Kasus ini mengindikasikan perlunya audit publik dan pembentukan tim evaluasi independen terhadap semua alokasi hibah kepada instansi vertikal di Kota Batam. DPRD sebagai lembaga pengawas anggaran pun harus membuka ruang dengar pendapat publik, agar masyarakat mengetahui detail alokasi dan dampak nyata dari hibah-hibah tersebut.
Jika tidak ada transparansi dan koreksi, maka praktik ini bisa membuka jalan bagi patronase politik, pengaburan akuntabilitas, dan bahkan kriminalisasi selektif di masa depan. MK-r
Redaktur: Munawir Sani