Kerugian Masyarakat Akibat Scam Tembus Rp 4,6 Triliun, OJK: Alarm Keras Kejahatan Digital

Ilustrasi (Foto: net)
JAKARTA (marwahkepri.com) – Gelombang kejahatan digital di sektor keuangan kian mengkhawatirkan. Hanya dalam waktu kurang dari setahun sejak Indonesia Anti-Scam Center (IASC) beroperasi pada November 2024, masyarakat Indonesia sudah melaporkan total kerugian mencapai Rp 4,6 triliun. Angka ini jauh melampaui perkiraan awal dan menunjukkan betapa masifnya jaringan penipuan berbasis digital.
Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK, Friderica Widyasari Dewi, menyebutkan lonjakan tersebut benar-benar di luar ekspektasi.
“Kita bikin studi, 3 semester atau 1,5 tahun itu angka kerugian dilaporkan sekitar Rp 2 triliun. Tapi ternyata baru 8 bulan, mungkin sekarang 10 bulan dari sejak didirikan, angka kerugian masyarakat sudah Rp 4,6 triliun rupiah, ini besar sekali,” ujarnya dalam acara Kampanye Nasional Berantas Scam dan Aktivitas Keuangan Ilegal di Hotel Raffles Jakarta, Selasa (19/8/2025).
Fenomena ini menjadi tanda bahaya serius. Friderica menegaskan, scam digital bukan lagi sekadar menyasar masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah, tetapi juga merambah ke kalangan profesional, bahkan pejabat.
“Jadi, masyarakat kita sudah menggunakan digitalisasi, tetapi mereka secara digital financial literasinya masih belum cukup tinggi. Itu yang harus terus kita dorong. Jangan sampai masyarakat yang sudah terbiasa menggunakan keuangan digital justru terjebak menjadi korban,” katanya.
Sejak berdiri, IASC mencatat 225 ribu laporan dari masyarakat. Dari jumlah itu, 72 ribu rekening berhasil langsung diblokir, sementara 359 ribu rekening lain teridentifikasi terlibat dalam aktivitas penipuan. Setiap hari, IASC menerima antara 700 hingga 800 laporan kasus penipuan—angka yang sangat tinggi jika dibandingkan dengan negara lain.
“Kalau di Singapura misalnya, mereka hanya mencatat sekitar 140–150 laporan harian. Artinya, tingkat serangan scam di Indonesia jauh lebih besar,” jelas Friderica, yang akrab disapa Kiki.
Bentuk-bentuk penipuan yang dilaporkan pun sangat beragam dan terus beradaptasi dengan tren digital. Mulai dari love scam, tawaran lowongan kerja palsu, phishing aplikasi perbankan, penipuan lewat marketplace, hingga investasi bodong di aset kripto.
“Modusnya selalu mengikuti tren, ada yang tiba-tiba mengaku keluarga dekat, ada yang janji pekerjaan dengan gaji besar, ada juga yang lewat penawaran investasi cepat untung. Semua ini membuktikan scammer sangat adaptif,” ungkapnya.
Menurut OJK, pemberantasan scam tidak bisa hanya dibebankan pada aparat atau satgas. Industri keuangan, baik perbankan, fintech, perusahaan efek, hingga marketplace, juga dituntut ikut bertanggung jawab dalam memperketat pengawasan dan meningkatkan perlindungan konsumen.
“Kemudian ada juga kasus masyarakat nggak sengaja transfer, atau terkena love scam, tawaran pekerjaan, dan lain-lain. Itu semua diadukan ke IASC yang memang menjadi pusat pengaduan nasional dan terhubung dengan seluruh satgas,” tutup Friderica.
Lonjakan kasus ini menegaskan bahwa Indonesia sedang menghadapi tantangan besar di era digitalisasi keuangan. Di satu sisi, adopsi layanan keuangan digital tumbuh pesat; di sisi lain, literasi dan kewaspadaan masyarakat belum sebanding dengan laju perkembangan teknologi.
Dengan kerugian mencapai Rp 4,6 triliun dalam waktu singkat, OJK menilai perlindungan konsumen harus menjadi prioritas utama. Sinergi pemerintah, otoritas, pelaku industri, dan masyarakat menjadi kunci agar Indonesia tidak terus menjadi ladang empuk bagi para scammer internasional. MK-mun/l6
Redaktur: Munawir Sani