OPINI | Pro-Epilog Vox Critica: Saya Ingin Anda Marah!

Vox Critica

Oleh Agoes S. Alam 
[Penulis Buku Vox Critica: Refleksi Filofis tentang Banalitas Bernegara]

Editor: Muhammad Natsir Tahar
ISBN: 978-634-04-1268-0
Penerbit: Focus Publishing Intermedia

#Prolog

Negara kerap dibayangkan sebagai entitas rasional dan stabil, meski kenyataannya ia adalah medan tarik-menarik antara kuasa, resistensi, dan kompleksitas manusia. Di balik retorika keteraturan, tersembunyi banalitas bernegara, logika internal yang menggerogoti diri sendiri, di mana hukum berubah jadi alat represi, pembangunan menghancurkan lingkungan, dan wacana keadilan menjadi kedok bagi ketidakadilan. Namun, di sisi lain, ada binalitas bernegara: sikap negara yang tak terkendali, bermuka dua, memainkan peran penstabil sekaligus sumber kekacauan, memonopoli kekerasan “sah” sambil mempraktikkan kekerasan struktural.

Seperti dikatakan Weber, negara mengklaim monopoli kekerasan, tetapi justru di situlah paradoksnya: ia menindas demi ketertiban, sambil menyembunyikan ketidakadilan di balik retorika kesejahteraan. Demokrasi elektoral direduksi jadi ritual pemilu, partai politik menjadi mesin oligarki, dan partisipasi publik diredam melalui soft repression seperti UU ITE. Negara pura-pura mendengar, tapi memelihara status quo.

Namun, banalitas dan binalitas bernegara juga melahirkan resistensi. Masyarakat membangun gerakan mandiri, pengetahuan alternatif, dan ruang otonom di luar kendali negara. Setiap represi memantik perlawanan kreatif: seni jalanan, ekonomi solidaritas, atau advokasi kebijakan yang lebih adil.

Dalam isu seperti kenaikan BBM atau deforestasi, keadilan bukan sekadar angka, melainkan akses hidup bagi yang terpinggirkan. “Ketika hutan jadi komoditas, kita kehilangan penopang kehidupan,” seru Vandana Shiva. Keadilan ekologis adalah pertarungan hidup-mati, sementara negara sering menjadi aktor yang justru memperparah ketimpangan.

Mengakui banalitas dan binalitas bernegara berarti menolak mitos negara sebagai penyelamat tunggal. Kritik harus membongkar hipokrisinya, sekaligus membuka jalan bagi tata kelola yang lebih manusiawi. Negara ada dalam tegangan antara ideal dan riil, dan di situlah perjuangan makna harus terus dilanjutkan.

 

#Epilog

Vox Critica ini lahir dari kegelisahan. Sebuah kegelisahan yang mengusik tidur nyenyak para penguasa, yang menggugat kemapanan sistem, dan yang menuntut keadilan bagi mereka yang tak bersuara. Saya, Agoes S Alam, tidak menulis buku ini sebagai akademisi yang bersila di menara gading, melainkan sebagai seorang anak jati Riau yang menyaksikan langsung bagaimana kekayaan alam kami dikeruk, sementara rakyatnya dibiarkan terengah-engah dalam kepungan asap kebakaran hutan dan ketimpangan kebijakan.

Buku ini adalah catatan perlawanan. Setiap kata yang tertuang di sini adalah jeritan masyarakat Dumai yang tercekik harga BBM termahal se-Indonesia, adalah rintih Orang Akit yang terusir dari tanah leluhurnya, adalah auman terakhir harimau Sumatra yang habitatnya dirampas untuk perkebunan sawit ilegal. Saya hanya menyalurkan suara mereka yang telah lama dibungkam oleh mesin kekuasaan dan keserakahan korporasi-oligarki.

Saya tidak ingin pembaca hanya mengangguk-angguk memahami teori Rawls, Sen, atau Arendt yang saya kutip. Saya ingin Anda marah. Risau ketika mengetahui Rp34 triliun uang negara menguap karena sawit ilegal. Menghela nafas ketika melihat CSR perusahaan besar hanya jadi topeng filantropi. Meronta ketika demokrasi kita direduksi menjadi transaksi suara dan politik identitas. Semua itu harus berubah menjadi aksi.

Kritik dalam buku ini bukan untuk menjatuhkan, melainkan untuk membangun kembali. Saya percaya, negara ini masih bisa diselamatkan jika kita berani mempertanyakan banalitas sekaligus binalitas kebijakan yang tidak pro-rakyat, jika kita menolak membiarkan hutan dan laut kita dikavling untuk segelintir orang, jika kita berani menuntut para pemimpin untuk bekerja bukan hanya untuk kekuasaan, tetapi untuk keadilan.

Saya menutup buku ini dengan keyakinan: perubahan tidak akan datang dari mereka yang diam. Ia lahir dari mereka yang berani berpikir, berani bersuara, dan berani bertindak. Vox Critica adalah undangan untuk ikut dalam perjuangan ini. ~