Satu Anak Tersisa di Tahun 2720: Jepang Jadi Cermin Krisis Populasi Global

0fc0fa8c-530d-4d4b-ab4e-85091e794761

Ilustrasi di Jepang sisa 1 orang anak yang lahir. (f: meta)

TOKYO (marwahkepri.com) — Sebuah prediksi mengejutkan datang dari Profesor Hiroshi Yoshuda, pakar demografi dari Tohoku University. Ia memperkirakan bahwa jika tren penurunan angka kelahiran di Jepang terus berlangsung seperti saat ini, maka pada 5 Januari 2720, hanya akan ada satu anak berusia di bawah 14 tahun yang tinggal di Negeri Sakura.

Prediksi tersebut bukan sekadar hiperbola. Ia menggunakan data resmi dari Japanese Statistic Bureau dan menciptakan semacam “jam kepunahan anak” — alat yang merekam secara real time penurunan jumlah anak-anak dari tahun ke tahun.

“Jika tak ada perubahan drastis, ini bukan hanya soal Jepang yang kehilangan populasi — ini soal hilangnya generasi masa depan,” ungkap Hiroshi.

Tanda Bahaya Bagi Dunia

Angka kelahiran Jepang telah mencapai titik krisis: rata-rata hanya 1,20 pada 2023, dan di Tokyo, bahkan turun di bawah 1. Parahnya lagi, kelahiran paruh pertama 2024 adalah yang terendah sejak 1969, menandai kecenderungan menurunnya populasi selama beberapa dekade.

Kondisi ini menjadi cermin bagi negara-negara maju lainnya, termasuk Korea Selatan, Italia, dan Jerman, yang juga menghadapi penurunan kelahiran yang tajam. Profesor Hiroshi memperingatkan bahwa krisis populasi bukan lagi isu domestik, tetapi tantangan global.

Apa yang Sudah Dilakukan?

Pemerintah Jepang tidak tinggal diam. Berbagai program sudah diluncurkan: mulai dari subsidi perumahan, penitipan anak yang lebih luas, hingga peluncuran aplikasi kencan resmi negara untuk mendorong pernikahan dan kelahiran. Namun, hasilnya masih belum terlihat signifikan.

Bahkan Elon Musk ikut angkat bicara. Di platform X, ia menyatakan:

“Jika tindakan radikal tidak diambil, Jepang (dan banyak negara lain) akan lenyap!”

Krisis Eksistensial

Lebih dari sekadar angka statistik, ini adalah pertanyaan eksistensial: bagaimana masa depan dunia jika generasi penerus terus menyusut?

Mampukah teknologi menggantikan peran manusia dalam jangka panjang? Ataukah kita sedang menyaksikan awal dari penyusutan peradaban secara perlahan?

MK-mun

Redaktur : Munawir Sani