Bukan Lagi Peniru, China Tunjukkan Taring Lewat Jet J-10

Chengdu J-10. (f: wikipedia)
JAKARTA (marwakepri.com) – Tak ada kemenangan besar yang lahir dari kemewahan. Kalimat ini terasa tepat menggambarkan perjalanan China dalam membangun kejayaan militernya, terutama lewat pengembangan jet tempur J-10. Negara yang pernah berkubang dalam kemiskinan dan keterbatasan teknologi pada abad ke-20, kini muncul sebagai kekuatan global yang membuat Amerika Serikat gelisah.
Sekitar tahun 1980-an, China masih tercatat sebagai negara berpendapatan rendah. Namun tekad untuk mandiri dalam pertahanan tidak pernah surut. Deng Xiaoping, arsitek reformasi ekonomi modern China, memulai langkah besar dalam pembangunan kekuatan militer nasional. Meski masa kepemimpinannya hanya 11 tahun, visi itu tidak berhenti bersamanya. Proyek pengembangan jet tempur dalam negeri terus digelorakan oleh para penerusnya, termasuk Presiden Jiang Zemin yang pada 1994 menyebut bahwa membangun jet tempur lebih bermanfaat daripada menciptakan bom atom.
Pernyataan itu tidak berhenti sebagai retorika. Butuh lebih dari dua dekade untuk merancang dan mengoperasikan jet J-10, pesawat tempur multifungsi yang menjadi simbol kemandirian teknologi militer China. Program ini sempat terhambat oleh keterbatasan akses terhadap teknologi Barat, terlebih setelah tragedi Tiananmen pada 1989 yang membuat hubungan China dengan Amerika Serikat dan sekutunya memburuk.
Namun bagi China, pembatasan itu justru menjadi pelecut. Mereka belajar dari teknologi asing di awal 1980-an, memanfaatkan masa singkat hubungan terbuka dengan Barat untuk menyerap sebanyak mungkin pengetahuan. Ketika pintu itu tertutup, Beijing beralih ke Moskow. Runtuhnya Uni Soviet dan kemerosotan ekonomi Rusia membuka kesempatan besar bagi China untuk mengakses teknologi militer mutakhir yang sebelumnya hanya bisa mereka impikan.
Jet tempur J-10 akhirnya resmi dioperasikan pada pertengahan 2000-an. Namun baru pada 7 Mei 2025, J-10C—varian terbaru dari jet ini—mengukir sejarah dalam pertempuran udara. Jet yang dioperasikan Pakistan itu dilaporkan berhasil menembak jatuh pesawat Rafale milik India. Ini bukan sekadar debut di medan tempur, tapi juga simbol keberhasilan sistem pertahanan yang dibangun dari nol oleh China.
Kini, China tidak lagi perlu membeli dari AS, Rusia, atau Prancis. Mereka memiliki ekosistem teknologi militer yang berkembang penuh. Apa yang dulunya dianggap kelemahan, kini menjadi fondasi kekuatan. Dan meskipun sebagian teknologi awalnya merupakan adaptasi dari negara lain, pengamat meyakini bahwa komponen J-10 hari ini seluruhnya adalah hasil karya China sendiri.
Perjalanan ini menunjukkan bahwa dominasi tidak datang dari ketergantungan, melainkan dari keberanian untuk menolak bergantung sejak awal. Bagi China, J-10 bukan sekadar jet—tapi lambang kemenangan dari perjuangan panjang menuju kedaulatan teknologi militer. MK-mun
Redaktur : Munawir Sani