Cina, Rusia, dan AS: Perebutan Pengaruh di Eropa di Tengah Perundingan Damai Ukraina

ilustrasi bendera tiga negara - Cina, Amerika Serikat, dan Uni Eropa. (Ist)
JAKARTA – Pesan dari Cina dalam sidang Dewan Keamanan PBB pekan lalu sangat jelas: “Cina menyambut semua upaya yang didedikasikan untuk perdamaian, termasuk kesepakatan baru-baru ini yang dicapai oleh Amerika Serikat dan Rusia untuk memulai perundingan damai,” ujar Duta Besar Cina untuk PBB, Fu Cong, dalam sebuah rapat pengarahan di Dewan Keamanan PBB.
“Cina berharap semua pihak yang terlibat dalam krisis Ukraina akan aktif dalam proses perundingan. Karena konflik telah berlangsung di Eropa, sangat penting bagi Eropa untuk turut bekerja demi perdamaian,” katanya. Pernyataan ini tampaknya berseberangan dengan posisi Rusia, mitra strategis utama Beijing.
Peran Rusia dan Amerika dalam Perundingan
Pada Senin (24/02), sebelum bertemu dengan delegasi AS di Arab Saudi, Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov menyatakan bahwa Uni Eropa (UE) tidak perlu terlibat dalam perundingan, mengklaim bahwa UE telah memiliki beberapa kesempatan untuk berpartisipasi dalam penyelesaian konflik.
Sepanjang perang, Cina bersikeras bahwa solusi konflik harus melalui dialog. Namun, analis Beijing, Kan Quanqiu, melihat bahwa Rusia ingin mengisolasi Eropa dari perundingan demi kesepakatan cepat dengan Washington. “Menurut Presiden Rusia Vladimir Putin, Ukraina harus didemiliterisasi. Dengan prasyarat ini, yang sulit diterima Eropa, Rusia berharap mempersulit keterlibatan Eropa di meja perundingan,” ujar Kan.
Banyak pengamat khawatir bahwa perjanjian bilateral antara AS dan Rusia tanpa melibatkan Eropa akan mengguncang sistem keamanan di kawasan, yang telah dijaga sejak Perang Dingin.
AS Mengabaikan Sekutunya?
Selama kampanye pemilu, Trump berulang kali mengatakan bahwa ia dapat mengakhiri perang Ukraina dalam 24 jam setelah kembali menjabat. Meskipun janji ini belum terealisasi, tampaknya negosiasi cepat dengan Rusia tetap menjadi prioritasnya.
Kebijakan AS yang lebih tertutup terhadap Eropa memunculkan kekhawatiran di kalangan analis politik. Sascha Lohmann dan Johannes Thimm dari Institut Jerman untuk Urusan Internasional dan Keamanan (SWP) menilai bahwa UE harus mendefinisikan kepentingannya sendiri dan mengembangkan strategi baru untuk menghadapi pergeseran sikap Washington.
Cina Melirik Eropa
Di tengah ketidakpastian geopolitik, Cina mengambil langkah maju dengan menawarkan kerja sama kepada Eropa. Dalam Konferensi Keamanan München, Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi menegaskan bahwa Beijing tetap berkomitmen pada multilateralisme dan kemitraan dengan Eropa.
Wang menyoroti kontribusi besar Cina dalam pengeluaran PBB dan implementasi Perjanjian Iklim Paris. Dengan nada persuasif, ia mengajak Eropa untuk mempererat hubungan dengan Cina dalam menghadapi tantangan global.
Namun, ilmuwan politik Stephan Bierling dari Universitas Regensburg menilai sikap Beijing sebagai bermuka dua. “Cina berbicara tentang dunia multipolar, tetapi tujuannya adalah mengamankan pengaruhnya sendiri,” ujarnya.
Membelah Barat?
Pakar Asia Angela Stanzel dari SWP memperingatkan bahwa Cina akan mencoba memanfaatkan ketegangan transatlantik jika AS mengurangi dukungannya terhadap Ukraina.
Menurut Stanzel, jika hubungan AS dan Eropa merenggang, Cina akan melihat peluang untuk menarik Eropa menjauh dari Washington. Dalam skenario ini, Jerman dan Prancis perlu memperkuat strategi geopolitik untuk menyeimbangkan hubungan dengan Cina sambil tetap mempertahankan hubungan transatlantik yang kuat.
Sementara itu, ekonom Wang Huiyao menilai bahwa di bawah kepemimpinan Trump, dunia akan melihat perubahan besar dalam hubungan internasional. “Eropa dapat mencapai keseimbangan yang lebih baik antara Cina dan Amerika,” ujarnya.
Di tengah ketidakpastian global, masa depan hubungan Eropa, AS, Cina, dan Rusia masih penuh tantangan. Apakah Eropa akan bertahan sebagai kekuatan independen, atau justru terjebak dalam persaingan geopolitik antara raksasa dunia? Mk-dtc
Redaktur: Munawir Sani