Teguh Joko Dwiyono: Dari Cangkang Telur ke Karya Seni yang Menginspirasi

Teguh Joko Dwiyono: Dari Cangkang Telur ke Karya Seni yang Menginspirasi

Teguh Joko Dwiyono. (F: Istimewa)

JAKARTA – Selama hampir tiga dekade, Teguh Joko Dwiyono telah menciptakan seni dari bahan yang tak biasa—’sampah’. Sebagai seorang pelukis, ia memilih cangkang telur dan sisa plastik sebagai medium untuk menghasilkan karya seni bernilai tinggi. Selain itu, Dwiyono juga aktif mengajar seni lukis dengan menggunakan cangkang telur dan plastik, menyasar berbagai kalangan serta menyebarkan kesadaran tentang potensi tersembunyi dari sampah rumah tangga.

Bagi Dwiyono, menciptakan karya seni sekaligus mengajarkan orang lain adalah pengalaman yang sangat berarti. Namun, melalui cangkang telur pula, ia menemukan filosofi hidup yang membantunya menjadi pribadi yang lebih tangguh.

Sebelum menciptakan banyak lukisan, Dwiyono mempelajari karakteristik cangkang telur. Ia menemukan lebih dari 40 warna alami yang berasal dari berbagai jenis telur, seperti telur ayam negeri, ayam kampung, bebek, hingga burung puyuh. Selain itu, ia mendalami kekuatan cangkang telur yang meskipun tipis (kurang dari 1 mm), mampu bertahan menghadapi cuaca dan kondisi lingkungan, menjadikannya bahan yang awet dan kokoh.

Dwiyono melihat bahwa meski terlihat rapuh, cangkang telur menyimpan kekuatan yang luar biasa. Prinsip ini pun ia terapkan dalam kehidupannya. “Ada satu pesan moral yang bisa kita sampaikan. Kalau orang berjiwa seperti kulit telur, artinya tidak sombong. Di balik kerapuhan, dia menyimpan kekuatan luar biasa,” ungkapnya dalam program Sosok detikcom.

Filosofi inilah yang membuat Dwiyono tetap bertahan meski diterpa badai pada tahun 1999. Ketika itu, ia sering mendapat komplain dari klien-klien luar negeri karena gagal memenuhi tenggat waktu pesanan. Dwiyono menyadari bahwa kurangnya pemahaman dalam manajemen, produksi, dan keuangan menjadi penyebab kegagalannya.

Namun, dengan keyakinan pada nilai dan filosofi cangkang telur, Dwiyono bangkit. Ia mengasah kemampuan seni dan memperkuat pengetahuan manajemen agar bisnis lukisannya tetap berjalan. “Ternyata, kejatuhan saya karena banyak hal, salah satunya kurangnya ilmu. Makanya, kita harus lengkap kalau mau bisnis. Harus punya ilmu manajemen, keuangan, marketing, produksi, dan lainnya. Saya belajar, dan ada kemauan untuk terus belajar,” jelasnya.

Kesabaran dan keyakinan Dwiyono akhirnya membuahkan hasil. Pada tahun 2000, ia mengikuti pameran produk ekspor yang membawa banyak pesanan dari Amerika, Inggris, hingga Bahrain. Dengan pengetahuan manajemen yang baru, Dwiyono mampu mempekerjakan 35 orang karyawan untuk membantu menyelesaikan pesanan.

Sekarang, Dwiyono fokus pada kegiatan mengajar dan memproduksi lukisan secara mandiri. Dalam mengajar, ia sering membuka kelas gratis dengan dana yang diperoleh dari penjualan lukisan. “Misalnya saya jual lukisan puluhan juta, saya bagi sebagian untuk mengajari warga secara gratis. Itu yang membuat saya bahagia, bukan materi. Melihat murid-murid saya berhasil, itu lebih membanggakan dan tidak ternilai dengan harta. Saya merasa harus bermanfaat untuk orang lain,” ungkap Dwiyono. Mk-dtc

Redaktur: Munawir Sani