Dampak Perang Dagang China-AS Terhadap Perdagangan Global

Dampak Perang Dagang China-AS Terhadap Perdagangan Global

Foto Istimewa.

JAKARTA (marwahkepri.com) – Efek dari ketegangan perang dagang antara China dan Amerika Serikat (AS) yang kembali memanas, terutama setelah terpilihnya Donald Trump sebagai presiden, diperkirakan akan menekan pertumbuhan perdagangan dunia. Namun, dampaknya diyakini tidak akan sebesar yang dibayangkan banyak pihak di dunia.

Laporan survei terbaru dari Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum/WEF) mengungkapkan bahwa di antara berbagai indikasi fragmentasi ekonomi yang diwaspadai di masa depan, erosi dukungan terhadap sistem perdagangan global menjadi yang paling menonjol.

“Meskipun perdagangan global diprediksi akan mencapai rekor US$33 triliun pada tahun 2024, sistem perdagangan global tersebut menghadapi ancaman yang signifikan,” demikian tulis laporan WEF yang dikutip pada Jumat (17/1/2025).

Secara kelembagaan, benih-benih konflik dagang yang kembali muncul ini mencerminkan kegagalan mekanisme penyelesaian sengketa utama di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang hingga kini belum terselesaikan sejak 2019.

“Secara politis, hal ini terlihat jelas pada keberhasilan kampanye presiden AS yang menonjolkan platform tarif menyeluruh,” tegas laporan tersebut.

Ekonom yang disurvei WEF memperkirakan bahwa gejolak perdagangan akan terus berlanjut pada tahun-tahun mendatang. Sebagian besar kepala ekonom yang disurvei (89%) memperkirakan adanya pembatasan perdagangan yang saling timbal balik antara AS dan China, sementara 68% memandang hal serupa akan terjadi dalam lingkup yang lebih luas.

“Meskipun kebijakan perdagangan pemerintahan AS yang baru kemungkinan akan memengaruhi prospek di tahun 2025, kebijakan tersebut mungkin tidak membawa perubahan besar pada arah perdagangan global,” ungkap WEF.

Kepala ekonom mencatat bahwa sangat kecil kemungkinan tarif yang paling ketat yang dijanjikan selama kampanye akan benar-benar diterapkan. Sebanyak 94% kepala ekonom memprediksi intervensi perdagangan yang lebih moderat.

Namun, penting untuk dicatat bahwa pembatasan perdagangan sudah menjadi fenomena yang semakin sering terlihat dalam lanskap perdagangan global. Kebijakan proteksionis, khususnya terhadap China, telah menjadi ciri khas pemerintahan AS yang dipimpin oleh Partai Republik, dan tetap dipertahankan, bahkan dalam beberapa kasus diperluas oleh pemerintahan Partai Demokrat.

Baru-baru ini, kebijakan perdagangan yang mendistorsi perdagangan antara negara-negara G20 jauh lebih banyak dibandingkan langkah-langkah liberalisasi perdagangan, dengan total 2.402 restriksi dibandingkan 634 liberalisasi dagang pada tahun 2024.

Jika mengacu pada data ini, maka bisa dikatakan bahwa perang dagang sudah berlangsung. Pemerintahan AS yang dipimpin Trump mulai mengkampanyekan kebijakan tarif tinggi, termasuk kenaikan tarif 10% secara menyeluruh dan hingga 60% untuk barang-barang asal China.

Namun, meskipun latar belakang ketegangan geopolitik semakin tajam dan proteksionisme meningkat, WEF menilai bahwa perdagangan global tetap cukup tangguh. Berdasarkan persentase PDB, perdagangan global tercatat 58,5% pada tahun 2023, meskipun turun dari 62,8% pada tahun sebelumnya, namun masih berada di atas angka 55,8% yang tercatat pada tahun 2017.

“Ketegangan geopolitik memang memberi hambatan terhadap perdagangan, namun dampaknya dapat diimbangi dengan meningkatnya perdagangan antara negara-negara yang memiliki kesamaan geopolitik,” ungkap laporan tersebut.

Hal ini menunjukkan bahwa meskipun prospek perdagangan global penuh ketidakpastian, risikonya mungkin tidak seburuk yang dibayangkan. Dalam survei WEF ini, 48% responden menyatakan bahwa mereka memperkirakan volume perdagangan global akan terus meningkat, dibandingkan dengan 18% yang tidak setuju.

“Pandangan hati-hati ini juga sejalan dengan perkiraan IMF bahwa volume perdagangan global akan meningkat sebesar 3,4% pada tahun 2025 – angka yang lebih rendah dibandingkan sebelum krisis keuangan global, namun tetap sejalan dengan ekspektasi pertumbuhan PDB,” tulis WEF. Mk-cnbc

Redaktur: Munawir Sani