WNA Korea di Balikpapan Dituntut 4,5 Tahun karena Pemalsuan Surat dengan Kerugian Rp9 Miliar

WNA Korea di Balikpapan, Joung Taeyoung terdakwa pemalsuan surat. (f: salahudin)
BALIKPAPAN (marwahkepri.com) – Seorang pria WNA Korea di Balikpapan, Joung Taeyoung, didakwa atas tuduhan pemalsuan surat yang mengakibatkan kerugian hingga miliaran rupiah.
Dia menghadapi sidang perkara pemalsuan surat dengan nomor perkara 737/Pid.B/2024/PN Bpp digelar di Pengadilan Negeri Balikpapan pada Kamis (16/1/2025).
Agenda sidang kali ini adalah pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap terdakwa Joung Taeyoung.
Dalam persidangan, JPU menyatakan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana pemalsuan surat, sebagaimana diatur dalam Pasal 263 KUHP.
Atas perbuatannya, JPU menuntut terdakwa dengan hukuman penjara selama 4 tahun 6 bulan.
Menanggapi tuntutan JPU, penasehat hukum terdakwa menyatakan akan menyampaikan pledoi pada sidang berikutnya.
Hakim yang memimpin sidang, Zaufi Amri, memberikan kesempatan tersebut minggu depan tanpa toleransi penundaan.
“Majelis memberi pada kesempatan minggu depan. Kami tidak memberi kesempatan penundaan,” tegas Hakim menunda sidang.
Ditemui seusai sidang, Jaksa Hentin Pasaribu menjelaskan bahwa penanganan dalam kasus ini disamakan dengan yang dialami warga negara Indonesia.
Ia menambahkan bahwa tuntutan hukuman penjara selama empat tahun enam bulan didasarkan pada pertimbangan bahwa terdakwa tidak menikmati hasil dari perbuatannya.
“Semua dana itu ditransfer ke RDMP, jadi hukumannya kita tuntut empat tahun enam bulan,” jelas Jaksa Hentin Pasaribu.
Dia menerangkan, kasus ini bermula ketika terdakwa Joung Taeyoung meminjam nama perusahaan PT TWA untuk menjalin kerja sama proyek dengan perusahaan RDMP.
Namun, enam bulan berjalan, proyek mengalami kendala, seperti karyawan yang tidak dibayar dan berbagai masalah lainnya.
RDMP kemudian meminta PT TWA untuk mengurus kontrak kerja yang tertunda.
Terdakwa kemudian membuat surat pemutusan kontrak sepihak dengan menambahkan tanda tangan palsu dan stempel PT TWA tanpa sepengetahuan Direktur PT TWA.
Surat tersebut digunakan oleh RDMP untuk mengajukan klaim garansi kepada bank penjamin yang berakibat pencairan garansi oleh bank penjamin.
Motif terdakwa disebutkan berupaya memastikan karyawan tetap menerima gaji, meskipun hal tersebut justru berujung pada kerugian besar.
“Direktur PT TWA tidak tahu dan tidak menyetujui penghentian pekerjaan tersebut, karena terdakwa sebenarnya hanya meminjam perusahaan tersebut,” tambah Hentin.
Kerugian yang timbul praktis dialami oleh PT TWA, karena empat sertifikat tanah perusahaan dijaminkan untuk pencairan garansi tersebut.
Hingga kini, nilai kerugian mencapai sebagaimana disebutkan, yakni sekitar Rp9 miliar.
“Kesalahan terdakwa adalah memutuskan sendiri tanpa melibatkan PT TWA, padahal masalah seperti ini harus disampaikan kepada perusahaan,” tutup Hentin Pasaribu. MK-Salahudin
Redaktur : Munawir Sani