Wacana Libur Sekolah Sebulan Selama Ramadan Tuai Pro dan Kontra

tema-kegiatan-ramadhan-313668468

Ilustrasi sekolah di bulan ramadhan. (f: goraedu.com)

JAKARTA (marwahkepri.com) – Wacana penerapan libur sekolah selama sebulan pada bulan Ramadan menuai berbagai tanggapan dari masyarakat, lembaga pendidikan, dan pemerintah. Menteri Agama Nasaruddin Umar menyampaikan bahwa pondok pesantren sudah menerapkan libur selama Ramadan, namun untuk sekolah-sekolah negeri dan swasta masih dalam tahap wacana. Dia menekankan bahwa fokus utama Ramadan adalah kualitas ibadah, bukan hanya soal libur sekolah.

“Yang terpenting selama Ramadan adalah kualitas ibadahnya. Bagi saya, itu yang paling penting. Ramadan adalah waktu untuk konsentrasi bagi umat Islam,” ujar Nasaruddin. Ia berharap Ramadan kali ini bisa menjadi kesempatan bagi anak-anak untuk lebih mengamalkan ajaran Islam, seperti mengaji, menghafal Al-Qur’an, serta memperkuat hubungan dengan keluarga.

Namun, wacana ini menuai berbagai pendapat. Anggota Komisi VIII DPR, Selly Andriyani Gantina, meminta agar kebijakan ini dikaji secara matang untuk memastikan tidak mengurangi kualitas pendidikan. Ia mengusulkan agar selama libur Ramadan, kegiatan produktif seperti pesantren kilat atau bimbingan keagamaan diadakan untuk menggantikan jam pelajaran yang hilang.

“Saya mendukung kebijakan ini jika diterapkan dengan perencanaan yang matang, melibatkan dialog antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat, serta memastikan tidak ada pihak yang dirugikan. Kita harus memastikan semangat Ramadan bisa berjalan seiring dengan kualitas pendidikan yang tetap terjaga,” kata Selly.

Sementara itu, Ketua Komisi X DPR, Hetifah Sjaifudian, juga menyarankan agar dampak positif dan negatif dari libur sebulan selama Ramadan dipertimbangkan lebih dalam. Ia menilai bahwa libur panjang memberikan kesempatan bagi siswa Muslim untuk fokus pada ibadah puasa dan kegiatan keagamaan. Namun, ia juga menekankan bahwa kebijakan ini perlu memperhatikan dampaknya terhadap kurikulum pendidikan dan kesetaraan bagi siswa non-Muslim.

“Libur sebulan ini dapat memberikan ruang bagi siswa Muslim untuk lebih mendalami agama dan mempererat hubungan keluarga. Tetapi, perlu dipertimbangkan dampaknya bagi siswa non-Muslim yang mungkin tidak merasakan manfaat langsung dari libur tersebut,” jelas Hetifah.

Di sisi lain, wacana ini juga mendapat respons dari masyarakat. Warga Jakarta, Ahmad, setuju dengan ide libur sebulan selama Ramadan karena bisa memberi kesempatan bagi anak-anaknya untuk lebih banyak bersama keluarga. “Waktu sama keluarga bisa lebih banyak, atau mungkin hal positif lainnya,” ujarnya. Namun, warga lain, seperti Mumun, khawatir anak-anak mereka tidak akan memiliki kegiatan produktif dan hanya akan tidur di rumah selama libur.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Cholil Nafis, menilai bahwa wacana ini perlu kajian mendalam, terutama untuk sekolah umum yang memiliki kurikulum yang lebih ketat. Cholil mengusulkan agar sekolah tetap berjalan dengan menambah pendidikan karakter dan penguatan spiritual selama Ramadan, sehingga siswa tetap produktif meski berpuasa.

“Kalau untuk pesantren mungkin bisa diterapkan, karena kurikulumnya lebih fleksibel. Namun untuk sekolah umum, perlu disesuaikan dengan kurikulum agar tidak mengganggu proses pendidikan,” ungkap Cholil.

Dengan berbagai pendapat yang berkembang, wacana libur sekolah sebulan selama Ramadan masih membutuhkan kajian dan diskusi lebih lanjut untuk memastikan kebijakan ini dapat diterapkan dengan tepat tanpa mengganggu kualitas pendidikan. MK-dtc

Redaktur : Munawir Sani