Kuburan di Hong Kong Lebih Mahal dari Properti Hunian: Tren yang Mencengangkan

HERO_Ultimate_HongKong_dreamstime_68784072

Hongkong. (f: fodors)

JAKARTA (marwahkepri.com) – Hong Kong dikenal sebagai kota dengan harga properti termahal di dunia. Namun, fenomena harga selangit tak hanya berlaku untuk hunian orang hidup, tetapi juga tempat peristirahatan terakhir. Biaya kuburan dan kremasi di kota ini bahkan jauh melampaui harga rumah biasa, mencerminkan tekanan lahan dan permintaan yang luar biasa tinggi.

Salah satu contohnya adalah Shan Sum Tower, krematorium 12 lantai yang dibangun dengan marmer dan dirancang oleh arsitek Jerman. Bangunan ini mampu menampung 23.000 guci abu jenazah. Harga sebuah relung untuk dua guci di sana mencapai US$ 76.000 (sekitar Rp 1,14 miliar). Bahkan, unit keluarga yang bisa menyimpan hingga delapan guci dihargai US$ 430.000 (Rp 6,45 miliar).

Untuk perbandingan, sebuah rumah mewah di kawasan The Peak, area paling eksklusif di Hong Kong, dihargai sekitar US$ 32.000 (Rp 480 juta) per kaki persegi. Sementara itu, ceruk di krematorium Shan Sum memiliki ukuran hanya sekitar satu kaki kubik persegi, menjadikannya jauh lebih mahal jika dihitung berdasarkan ukuran.

Shan Sum bukanlah yang termahal. Di Fanling, kompleks peristirahatan mirip kuil di pinggiran utara Hong Kong menawarkan ceruk dengan harga mencapai US$ 660.000 (Rp 9,9 miliar). Angka tersebut belum termasuk biaya pemeliharaan yang bisa mencapai US$ 25.000 (Rp 375 juta). Harga fantastis ini menunjukkan betapa tingginya permintaan terhadap ruang pemakaman di kota dengan keterbatasan lahan ekstrem.

Hong Kong menghadapi tantangan besar terkait ruang pemakaman. Lahan yang terbatas, populasi padat, dan tradisi yang mengharuskan keluarga menjaga tempat peristirahatan leluhur berkontribusi pada melonjaknya harga. Pemerintah setempat mendorong kremasi untuk mengatasi krisis lahan, tetapi biaya krematorium yang mahal tetap menjadi beban bagi banyak keluarga.

Fenomena ini tidak hanya mencerminkan keterbatasan lahan, tetapi juga mempertegas kesenjangan sosial-ekonomi di Hong Kong. Bagi banyak warga, bahkan “tempat tinggal” terakhir menjadi simbol eksklusivitas yang sulit dijangkau. Tren ini juga menyoroti pentingnya reformasi kebijakan lahan dan fasilitas publik untuk mengatasi ketidaksetaraan yang semakin tajam. MK-dtc

Redaktur : Munawir Sani