Telah Terjadi di 5 Negara: Ekonom Peringatkan Dampak Kemasan Rokok Polos

Ekonom Senior INDEF, Tauhid Ahmad. (F: Ist)
JAKARTA (marwahkepri.com) – Ekonom Senior INDEF, Tauhid Ahmad, memperingatkan tentang berbagai tantangan yang akan dihadapi industri dan perdagangan Indonesia jika pemerintah menerapkan aturan kemasan rokok polos tanpa merek dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 28/2024 tentang Pelaksanaan UU No. 17/2023 tentang Kesehatan (PP Kesehatan).
Berdasarkan hasil penelusurannya, penerapan aturan ini di Skotlandia berdampak negatif pada penjualan ritel. Konsumen menjadi bingung saat memilih varian rokok karena semua kemasan dibuat polos, sehingga sulit membedakan merek. “Studi di Skotlandia menunjukkan bahwa konsumen bingung saat bertransaksi, karena sulit membedakan varian merek dengan kemasan polos,” kata Tauhid dalam acara Coffee Morning Tembakau CNBC Indonesia di Jakarta, Kamis (19/9/2024).
Penelitian di Selandia Baru tahun 2023 juga menunjukkan bahwa kemasan polos menurunkan kesadaran merek rokok dari 28% menjadi 13%. Di Inggris, penurunan pendapatan perusahaan rokok terjadi akibat kebijakan kemasan polos dan kenaikan cukai. “Pada 2017-2018, pendapatan industri rokok di Inggris turun sekitar 16%, dan produksi turun rata-rata 6,3 juta batang,” lanjutnya.
Sementara di Kolombia pada tahun 2024, konsumen justru bersedia membayar lebih mahal, sekitar US$ 5,63, untuk menghindari kemasan polos. Di Australia, meski kemasan polos diterapkan, pengeluaran masyarakat untuk rokok justru meningkat karena perpindahan konsumen ke merek rokok lebih murah atau produk ilegal.
Melihat berbagai penelitian, Tauhid menyimpulkan bahwa aturan kemasan polos dapat perlahan mematikan industri rokok dan meningkatkan peredaran rokok ilegal. “Diskusi kami menunjukkan, kebijakan kemasan polos bisa menurunkan permintaan rokok hingga 15%, yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi kita sekitar minus 0,03%,” ujarnya.
Tauhid juga mengingatkan bahwa pemerintah yang dipimpin Presiden Terpilih Prabowo Subianto berupaya mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 8%, namun kebijakan ini bisa menjadi tantangan besar bagi pencapaian target tersebut. “Industri rokok yang tertekan aturan ini akan menambah tantangan besar dalam mendorong potensi pertumbuhan ekonomi,” pungkasnya. Mk-cnbc
Redaktur: Munawir Sani