Ketika Profesor Berpolitik: Apakah Gelar Akademis Jadi Alat Kampanye?
Gelar profesor adalah simbol pencapaian intelektual yang sejati, hasil dari dedikasi akademik yang mendalam. Gelar ini mencerminkan keunggulan akademis serta kontribusi nyata terhadap ilmu pengetahuan dan masyarakat, bukan hanya ornamen untuk memperindah citra seseorang.
Profesor berfungsi sebagai pelita yang menerangi jalan pengetahuan, membimbing generasi muda dengan kebijaksanaan dan keahlian mereka, serta menjaga tradisi intelektual yang telah dibangun oleh para ilmuwan dan pendidik terdahulu.
Bukan Trayek Politik
Gelar profesor adalah simbol pencapaian sejati dan tanggung jawab intelektual. Gelar ini memiliki nilai intrinsik yang jauh lebih dalam daripada sekadar alat untuk citra. “Profesor adalah penjaga dan pengembang ilmu pengetahuan yang berkewajiban mempertahankan standar akademik yang tinggi dan memelihara integritas intelektual,” ungkap seorang pengamat akademik.
Penggunaan gelar profesor untuk tujuan politik dapat mengaburkan batas antara pengetahuan objektif dan dunia politik subjektif. Oleh sebab itu, politisi sebaiknya tidak mengejar ambisi politik melalui trayek akademis. “Pisahkan dunia politik dan akademik untuk mempertahankan kepercayaan serta kehormatan akademik,” tambahnya.
Politisi seharusnya mengejar ambisi politik mereka melalui jalur yang sesuai dengan tata cara politis, bukan dengan memanfaatkan trayek akademis. Hal ini penting untuk memastikan bahwa pengetahuan tetap bebas dari “aroma oportunistik.” “Mendompleng reputasi akademis untuk kepentingan politik hanya akan mengaburkan batas antara kualifikasi ilmiah yang sejati dan citra politik yang direkayasa,” ujar pengamat.
Kurang Bertuah untuk Politik
Aura otoritas yang melekat pada gelar profesor memang menarik perhatian publik dan mencitrakan seseorang sebagai kompeten dalam ranah intelektual. Namun, “apakah relevan gelar tersebut dikapitalisasi untuk meraih dukungan politik dari masyarakat awam?” Pertanyaan ini penting, mengingat sebagian besar masyarakat Indonesia cenderung tidak menghubungkan kepercayaan politik dengan prestasi akademik.
Mereka lebih mengutamakan politisi yang bisa berkomunikasi dengan bahasa sederhana dan mudah dipahami. “Figur politisi yang terlalu akademis sering dianggap terlalu jauh dari kehidupan nyata dan tidak mampu memahami serta merasakan permasalahan sehari-hari,” jelas seorang analis politik.
Gelar profesor juga sering dikaitkan dengan stereotip sebagai orang yang terisolasi dalam menara gading, hanya fokus pada teori tanpa aplikasi praktis yang nyata. “Hal ini membuat masyarakat kurang ‘kerasan’ dengan kemampuan profesor mengelola mereka,” tambahnya. Di dunia politik, keterampilan komunikasi dan kemampuan menarik simpati rakyat jauh lebih penting daripada gelar akademis.
Politisi yang mampu berbicara dengan bahasa rakyat, menunjukkan kepedulian secara langsung, dan memiliki kepribadian yang hangat biasanya lebih mudah mendapatkan dukungan. “Kepribadian dan kehangatan berinteraksi dengan masyarakat lebih diutamakan daripada prestasi akademis,” tutup pengamat politik.
Menghilangkan Gelar Profesor?
Sistem akademik diibaratkan sebagai hutan rimbun, penuh dengan berbagai jenis pohon yang tumbuh subur. “Setiap pohon menggambarkan perjalanan akademik dan kontribusi individu,” jelas seorang akademisi. Menghilangkan gelar akademik dari dunia pengetahuan sama seperti menghilangkan sebutan dari pepohonan di hutan.
Tanpa sebutan tersebut, “kita akan menghadapi kesulitan besar dalam mengenali dan memahami jenis serta manfaat setiap pohon,” tambahnya. Gelar akademik memberikan makna substantif dan pengakuan atas dedikasi dalam mengejar pengetahuan serta kontribusi terhadap masyarakat. Tanpa simbol, “kita meremehkan nilai usaha individu dan kehilangan cara untuk mengakui pencapaian,” pungkasnya.mk-dtc
Redaktur: Munawir Sani