BMKG: Hujan Lebat di Musim Kemarau Bukan Anomali Iklim

fefeg

Ilustrasi hujan deras. (Foto: Antara)

JAKARTA (marwahkepri.com) – Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menegaskan bahwa fenomena hujan lebat yang terjadi di musim kemarau bukanlah anomali iklim.

Menurutnya, kondisi ini normal dan wajar mengingat letak geografis Indonesia yang berada di antara dua benua, yaitu Australia dan Asia, serta dua samudra, yaitu Pasifik dan Hindia.

“Letak geografis ini menjadikan Indonesia memiliki dua musim yang berbeda, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Angin monsun barat dari Benua Asia membuat Indonesia mengalami musim hujan, sementara musim kemarau di Indonesia berkaitan dengan aktifnya angin monsun timur dari Australia yang bersifat kering,” ungkap Dwikorita dalam keterangan tertulisnya, Rabu (10/7/2024).

Meskipun berstatus musim kemarau, Dwikorita menjelaskan bahwa hal ini tidak berarti tidak ada hujan sama sekali. Curah hujan di suatu tempat kurang dari 50 mm per dasarian dan terjadi minimal tiga dasarian berturut-turut. Musim kemarau sendiri tidak terjadi secara bersamaan di seluruh Indonesia dan durasinya berbeda antarwilayah.

BMKG memantau bahwa hingga akhir Juni 2024, sebanyak 43 persen Zona Musim di Indonesia sedang mengalami musim kemarau. Puncak musim kemarau di sebagian besar wilayah Indonesia diperkirakan terjadi pada bulan Juli dan Agustus 2024, mencakup 77,27 persen wilayah zona musim.

Dwikorita menjelaskan bahwa meskipun musim kemarau sedang berlangsung di sebagian wilayah Indonesia, kondisi iklim tidak selalu kering dan panas. Keragaman iklim di Indonesia dipengaruhi oleh berbagai faktor global, regional, dan lokal. Beberapa di antaranya adalah fenomena El Nino/La Nina, Madden Julian Oscillation (MJO), suhu permukaan laut di sekitar Indonesia, dan angin darat-laut.

Mengenai hujan lebat yang terjadi beberapa hari terakhir di beberapa wilayah Indonesia seperti Banten, Jawa Barat, Jakarta, dan Maluku, Dwikorita mengatakan hal ini disebabkan oleh dinamika atmosfer skala regional yang signifikan. Fenomena yang terlibat termasuk MJO, Gelombang Rossby Ekuatorial dan Gelombang Kelvin.

MJO adalah aktivitas dinamika atmosfer di wilayah tropis, di mana terdapat pergerakan sistem awan hujan yang bergerak sepanjang khatulistiwa. Fenomena ini bersifat temporal dan akan terulang setiap 30 hingga 60 hari di sepanjang khatulistiwa. MJO dapat mempengaruhi pola cuaca dengan meningkatkan kemungkinan hujan intens meskipun di musim kemarau.

“Pada periode 3-6 Juli 2024, gelombang atmosfer MJO, Rossby Ekuatorial, dan Kelvin aktif di Indonesia bagian tengah dan selatan,” kata Dwikorita. Fenomena MJO ini telah terdeteksi sejak 28 Juni, sehingga BMKG telah mengeluarkan peringatan dini potensi hujan lebat sejak tanggal tersebut.

Selain iklim dan dinamika atmosfer, tipe hujan di Indonesia juga dipengaruhi oleh kondisi topografi yang beragam seperti pegunungan, lembah, dan pantai. Keragaman iklim ini menyebabkan wilayah Indonesia terbagi menjadi banyak zona musim dengan periode musim hujan dan kemarau yang berbeda. MK-mun

Redaktur: Munawir Sani