Kompolnas Nilai Sanksi Etik Tak Efektif, Desak Polisi Pemeras Diproses Pidana
Ilustrasi polisi. (Foto: net)
JAKARTA (marwahkepri.com) — Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) menilai penanganan kasus pemerasan yang melibatkan anggota kepolisian tidak boleh berhenti pada sanksi kode etik semata. Kompolnas menegaskan, praktik pemerasan berulang terjadi karena penegakan hukum pidana terhadap aparat belum dijalankan secara konsisten.
“Kompolnas menyarankan kepada Polri melalui Divisi Propam supaya jangan hanya kode etik saja, tetapi harus diikuti dengan pidana,” kata Ketua Harian Kompolnas Arief Wicaksono kepada Tempo, Senin (29/12/2025).
Pernyataan tersebut disampaikan Arief merespons laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan pemerasan yang melibatkan 43 anggota kepolisian sepanjang periode 2022–2025.
Arief menjelaskan, Kompolnas tidak memiliki kewenangan investigasi. Namun sebagai lembaga pengawas eksternal, pihaknya secara konsisten mendorong Polri agar tidak menjadikan sidang etik sebagai satu-satunya bentuk penindakan.
Menurutnya, sanksi etik tanpa disertai proses pidana tidak akan menimbulkan efek jera dan berpotensi membuat praktik serupa terus berulang.
“Kalau hanya etik, tidak cukup. Harus ada konsistensi penegakan hukum pidana agar ada efek jera,” ujarnya.
Sebagai contoh, Arief menyinggung penanganan kasus di Kepulauan Riau, di mana 16 anggota Polri terlibat perkara narkotika dan pemerasan. Dalam kasus tersebut, seluruh pelaku tidak hanya dijatuhi sanksi etik, tetapi juga diproses pidana hingga mendapatkan putusan pengadilan.
“Semuanya dipidanakan, di samping kode etik,” tegasnya.
Sebelumnya, ICW dan KontraS yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Reformasi Kepolisian melaporkan dugaan pemerasan oleh 43 anggota polisi ke KPK pada Selasa (23/12/2025). Laporan tersebut disampaikan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta.
Kepala Divisi Hukum dan Investigasi ICW Wana Alamsyah menyebutkan, laporan itu mencakup empat perkara dugaan pemerasan, yakni terkait kasus pembunuhan, penyelenggaraan konser Djakarta Warehouse Project (DWP), dugaan pemerasan di Semarang, serta praktik jual beli jam tangan.
Menurut Wana, keempat kasus tersebut telah ditindaklanjuti oleh kepolisian melalui sanksi etik terhadap para terduga pelaku. Namun, ia menilai langkah tersebut belum memadai karena tidak disertai proses hukum pidana.
Berdasarkan penghitungan ICW dan KontraS, nilai dugaan pemerasan yang melibatkan 43 anggota polisi tersebut diperkirakan mencapai Rp 26,2 miliar. Meski nilai tersebut masih dapat diperdebatkan, Wana menilai dampaknya sangat serius karena berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum.
Ia menegaskan, KPK memiliki kewenangan untuk menindak dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, termasuk kepolisian, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, khususnya Pasal 12 huruf e terkait pemerasan oleh penyelenggara negara. MK-mun
Redaktur: Munawir Sani
