Viral Penjarahan saat Banjir Sumatera, Ini Penjelasan Psikolog Soal Insting Bertahan Hidup

AQNh3a3-fKVH_n1SsMBqj6_tv-XSTwZIseXOBJy-YMwbKjWrGG-Kc55QCHM4wmffH7fImnC556SZNkd0B2vWuhuLMNoTpFqiYiJMFAyOyD52yct0azpxN3Rlnp4oEGS5CmmDSIP7iKSTioDHvUG-SyvDaQAcJA

Ilustrasi penjarahan saat banjir. (f: meta)

JAKARTA (marwahkepri.com) – Belakangan ini, narasi mengenai “penjarahan” kembali ramai diperbincangkan di tengah bencana alam yang melanda Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh. Perdebatan muncul di media sosial, dengan sebagian warganet menyebut aksi tersebut sebagai akibat lambatnya distribusi bantuan, sementara lainnya menilai tindakan mengambil barang tetap tidak dapat dibenarkan dalam kondisi apa pun.

Sebagian warganet menilai situasi sulit membuat korban terpaksa mengambil barang demi bertahan hidup. Namun ada pula yang menilai tindakan tersebut bisa dimanfaatkan pihak yang tidak benar-benar membutuhkan. Perdebatan pun semakin meluas di tengah derasnya informasi di media sosial.

Psikolog klinis Maharani Octy Ningsih menilai perilaku korban bencana yang mengambil barang kebutuhan dasar seperti makanan dan minuman merupakan bentuk survival instinct. Mereka, kata Rani, terjebak dalam kondisi akses yang terputus dan bantuan yang terlambat datang, sehingga tidak mengetahui kapan pertolongan akan tiba.

“Kebutuhan dasar yang tidak terpenuhi, ditambah akses yang terputus, memicu stres dan kecemasan tinggi. Ini memengaruhi cara mereka bertindak,” kata Rani kepada detikcom.

Menurutnya, korban yang mengambil barang semata-mata ingin bertahan hidup harus dibedakan dari mereka yang bertindak oportunistik. Perilaku oportunistik terjadi ketika seseorang mengambil barang yang tidak berkaitan dengan keselamatan, seperti elektronik atau rokok. Dalam konteks bencana, kedua motivasi ini bisa muncul bersamaan, tetapi dorongan untuk memenuhi kebutuhan dasar biasanya lebih dominan.

Rani menjelaskan bahwa survival instinct muncul ketika seseorang merasa kelangsungan hidupnya terancam dan kebutuhan dasarnya tak terpenuhi. Dalam mode darurat ini, tubuh dan otak memberikan respons yang fokus pada keselamatan diri.

“Ketakutan dan kecemasan menyebabkan norma sosial melemah sementara. Otak lebih fokus pada kelangsungan hidup,” ujarnya. Ia menambahkan, perilaku mengambil barang bisa menjadi perilaku menular ketika masyarakat berada dalam kondisi panik bersama atau panic collective. MK-dtc

Redaktur : Munawir Sani