Desentralisasi Asimetris: Harapan Lingga yang Tak Juga Diprioritaskan Pemerintah Kepri
Di Kepulauan Riau, Kabupaten Lingga sering disebut sebagai “jantung maritim” yang terlupakan. Dengan ratusan pulau dan sebagian besar wilayah berupa laut, Lingga menjadi contoh paling jelas bagaimana kebijakan otonomi yang seragam justru gagal menjawab kebutuhan daerah kepulauan. Namun hingga hari ini, Pemerintah Provinsi Kepri belum menunjukkan keberanian politik untuk mendorong pola desentralisasi asimetris yang lebih sesuai untuk Lingga.
Kebutuhan ini bukan sesuatu yang baru. Sejak diberlakukannya UU 23/2014, kewenangan kabupaten dalam urusan kelautan dan perikanan diambil alih provinsi. Bagi wilayah darat, ini mungkin tidak menjadi persoalan besar. Tetapi bagi Lingga, keputusan itu memotong kemampuan pemerintah kabupaten untuk mengelola sektor yang menjadi tulang punggung ekonominya sendiri.
Ironisnya, provinsi justru tidak memiliki cukup kapasitas untuk mengelola pengawasan laut yang luas hingga ke pulau-pulau terjauh di Lingga. Ketika izin dan pengawasan ditarik ke provinsi, jarak geografis menciptakan hambatan baru. Nelayan Lingga harus bergantung pada birokrasi yang berada jauh dari desa mereka, sementara pengawasan laut tidak jarang berjalan formalis dan lambat. Ketimpangan ini menjadi biaya sosial yang ditanggung langsung oleh masyarakat.
Sementara itu, pembangunan infrastruktur antarpulau di Lingga masih tertinggal. Dermaga kecil rusak, kapal perintis tak menentu, dan akses logistik sering terputus. Dalam kondisi seperti ini, desentralisasi asimetris bukan sekadar pilihan, tetapi kebutuhan struktural. Namun keputusan politik untuk mendorongnya tidak kunjung diambil.
Kepri sering menyebut dirinya sebagai provinsi maritim, tetapi praktik kebijakannya masih condong pada pendekatan pembangunan daratan. Penetapan prioritas anggaran menunjukkan bagaimana Lingga tidak pernah berada di posisi teratas. Padahal biaya layanan publik di wilayah kepulauan jauh lebih tinggi karena geografis yang tersebar. Ketidakseimbangan inilah yang membuat banyak desa di Lingga seperti berjalan dengan sumber daya yang terbatas, sementara provinsi berbicara tentang visi besar ekonomi biru.
Desentralisasi asimetris seharusnya menjadi pintu keluar dari kebuntuan ini. Model ini memberi ruang bagi Lingga untuk mendapatkan kewenangan tambahan dalam pengelolaan laut, perikanan, ruang pesisir, dan transportasi antarpulau. Dengan kewenangan itu, pemerintah kabupaten dapat mempercepat pelayanan tanpa harus menunggu proses provinsi yang lamban dan sering tidak sensitif terhadap kondisi lokal.
Namun persoalannya bukan sekadar teknis, tetapi politis. Tanpa komitmen dari pemerintah provinsi, gagasan ini tidak akan pernah bergerak. Keengganan untuk mendorong asimetris menunjukkan bahwa provinsi masih nyaman dengan model sentralisasi kewenangan yang memberi mereka kontrol besar atas sumber daya laut. Padahal, bagi daerah seperti Lingga, model itu justru menghambat akselerasi pembangunan.
Kelemahan tata kelola ini tidak hanya menghambat ekonomi lokal, tetapi juga memperlebar jurang ketimpangan antarwilayah. Lingga dapat tumbuh lebih cepat jika diberi ruang untuk mengelola sendiri sektor strategisnya. Namun selama otonomi yang dimiliki hanya setengah hati, Lingga akan tetap berada dalam posisi subordinatif.
Pemerintah pusat sebenarnya telah membuka pintu bagi daerah kepulauan untuk memperoleh skema kewenangan khusus. Tetapi inisiatif itu memerlukan dorongan kuat dari daerah. Jika Pemerintah Kepri masih memandang desentralisasi asimetris sebagai isu pinggiran, maka Lingga akan terus menanggung kerugiannya.
Kini, publik Kepri seharusnya mulai mempertanyakan keberanian pemerintah provinsi dalam memperjuangkan kepentingan kabupaten kepulauan. Apakah Kepri hanya akan berhenti pada slogan “provinsi maritim”, atau benar-benar memberikan ruang otonomi yang sesuai bagi wilayah maritim itu sendiri? Lingga tidak membutuhkan retorika, melainkan keberpihakan kebijakan.
Desentralisasi asimetris bukan tuntutan politik, tetapi kebutuhan mendesak. Jika pemerintah provinsi terus menunda keputusan ini, Lingga akan tetap menjadi daerah dengan potensi besar yang tidak pernah diberi kesempatan untuk tumbuh. Yang ditunggu masyarakat Lingga bukan janji, melainkan langkah konkret untuk menghadirkan otonomi yang benar-benar relevan dengan karakter wilayah mereka.
Oleh: FIKA RAMDHANI
Jurusan: Ilmu pemerintahan (UMRAH)
