Magic Mushroom Bisa ‘Kacaukan’ Otak hingga 3 Minggu, Tapi Malah Bikin Pikiran Lebih Lentur

AQNJZBxktIqsyxDP6JS3yjCLZ_0i5nQoVMIhOxaJA5GgFiwx8fAXYLxN3EWM2bFM3OFSE23-eEqo51Y5cJ-lMCWp1tWstl7hCVKmAdgw4QYLb7JrD_0jw4sX5SEJww8X1Ov3iK-iiu-IHVALnA89achRCr72GQ

Magic Mushroom. (F: META)

MARWAHKEPRI.COM – Siapa sangka, efek “teler” dari magic mushroom ternyata bukan sekadar sensasi halusinasi. Penelitian baru menunjukkan bahwa jamur psikedelik ini dapat mengubah pola kerja otak secara signifikan, bahkan efeknya bisa bertahan hingga tiga minggu setelah dikonsumsi.

Otak Jadi Kurang Teratur, Tapi Lebih Fleksibel

Dalam studi terbaru yang dimuat di jurnal Nature dan dilansir IFL Science, para ilmuwan menemukan bahwa setelah mengonsumsi psilocybin, senyawa aktif dalam magic mushroom, aktivitas otak menjadi lebih acak dan kurang terorganisir dari biasanya.

Namun, justru dari “kekacauan” sementara inilah muncul efek positif: otak menjadi lebih fleksibel, yang bisa membantu mengatasi depresi dan gangguan mental lainnya.

“Individualitas mereka hilang untuk sementara. Otak semua partisipan tampak serupa saat berada di bawah pengaruh psilocybin,” ujar peneliti Nico Dosenbach. “Ini memverifikasi secara ilmiah apa yang sering dilaporkan pengguna: sensasi ‘kehilangan diri sendiri’ selama pengalaman psikedelik.”

Eksperimen: Mengintip Otak yang Sedang “Trip”

Penelitian ini melibatkan tujuh partisipan yang diberi psilocybin atau metilfenidat (bentuk umum Ritalin) dalam dosis tinggi. Mereka menjalani hingga 18 kali pemindaian MRI otak sebelum, selama, dan setelah sesi konsumsi.

Hasilnya menunjukkan bahwa psilocybin secara drastis mengacaukan pola konektivitas otak yang biasanya stabil dan unik untuk tiap individu. Setelah efeknya reda, jaringan otak mulai pulih, namun tidak sepenuhnya kembali seperti semula.
Konektivitas di Default Mode Network (DMN), bagian otak yang mengatur introspeksi, lamunan, dan kesadaran diri, tetap lebih “longgar” selama berminggu-minggu.

Efek “Senja Psikedelik” dan Potensi Terapi

Menurut peneliti Joshua Siegel, kondisi otak yang “didesinkronisasi” sementara ini menciptakan efek halusinogen akut, tapi juga membawa dampak positif jangka panjang.
“Dalam jangka pendek, Anda kehilangan batas diri. Dalam jangka panjang, otak menjadi lebih lentur dan mungkin lebih mudah keluar dari pola pikir negatif,” jelasnya.

Fenomena ini disebut “efek cahaya senja psikedelik”, di mana pengguna merasa lebih tenang, lebih terbuka, dan lebih mudah memproses emosi setelah efek halusinasinya berlalu.

Penelitian Masih Berlanjut

Meski hasilnya menjanjikan, para ilmuwan menegaskan bahwa penelitian ini masih tahap awal dan dilakukan dalam kondisi pengawasan medis ketat. Psilocybin tetap termasuk zat psikoaktif yang ilegal di banyak negara, termasuk Indonesia.

Namun, temuan ini membuka peluang baru untuk memahami bagaimana “kekacauan sementara” dalam otak justru bisa membantu menyembuhkan pikiran, sesuatu yang mungkin dulu hanya dianggap mimpi para psikolog dan ilmuwan. MK-mun

Redaktur : Munawir Sani