OPINI | Genosida Sunyi di Nigeria dan Buta Selektif Dunia Modern

Oleh Ruben Cornelius Siagian
Ketika dunia sibuk berdebat tentang etika perang di Gaza atau strategi gencatan senjata di Ukraina, di dataran tinggi Nigeria darah kembali mengalir tanpa sanksi, tanpa liputan, tanpa doa dari forum dunia. Lebih dari 7.000 umat Kristen dibantai hanya dalam tujuh bulan pertama 2025, sebagian besar oleh milisi Fulani dan kelompok ekstremis Boko Haram. Tapi tragedi ini yang oleh banyak organisasi kemanusiaan dikategorikan sebagai genocidal persecution justru terbungkam dalam diplomasi global. Dunia menutup mata, dan kemanusiaan dijadikan retorika tanpa ruh.
Kemunafikan Global dan Politik Kepentingan
PBB, institusi yang lahir dari reruntuhan Holocaust untuk mencegah genosida berikutnya, kini menjadi menara gading yang kehilangan nyali. Tidak ada satu pun resolusi Dewan Keamanan yang menyinggung secara eksplisit pembunuhan berbasis agama di Nigeria. Padahal mandat Responsibility to Protect (R2P) yang disahkan sejak 2005 mewajibkan intervensi ketika sebuah negara gagal melindungi warganya dari genosida.[1] Lalu di mana PBB saat ini? Sibuk menegosiasikan “stabilitas kawasan” sambil membiarkan desa-desa Kristen di Plateau dan Benue jadi abu.
Polanya sama seperti Rwanda 1994. Kala itu, PBB menolak menyebut pembantaian terhadap etnis Tutsi sebagai “genosida” karena takut konsekuensi hukum internasional memaksa intervensi.[2] Kini, setengah abad kemudian, mereka mengulangi dosa yang sama dengan nama yang lebih halus, yaitu “konflik agraria” atau “benturan etnis”.
Donald Trump dan para politisi Amerika juga tidak lebih baik. Ia sering berteriak tentang “kebebasan beragama” di hadapan evangelikal kulit putih, tapi saat genosida terhadap umat Kristen Afrika terjadi, ia bersembunyi di balik jargon “masalah internal Nigeria”. Washington tidak mau kehilangan pijakan geopolitik di Afrika Barat yang kaya minyak. Artinya nyawa manusia kalah nilai dibanding kontrak energi dan pengaruh militer.
Dan Indonesia? Prabowo Subianto dengan doktrin human security dan retorika “perdamaian dunia” berdiri di podium internasional tanpa satu pun pernyataan publik menyinggung tragedi Nigeria. Bahkan di OKI, yang seharusnya menjadi wadah solidaritas umat, tidak ada satu deklarasi pun mengecam kekerasan sektarian ini. Kita memilih diam atas nama diplomasi Selatan-Global, padahal yang sedang terbunuh juga adalah manusia Selatan-Global.
Politik Religiusitas dan Rasisme Terselubung
Dunia tampaknya memiliki hierarki moral atas penderitaan. Ketika umat Muslim Rohingya atau warga Palestina menjadi korban, istilah “genosida” cepat diucapkan dan konferensi darurat segera digelar. Tapi ketika umat Kristen dibantai di Nigeria, narasinya bergeser, yaitu “konflik lahan”, “gesekan sosial”, atau “reaksi terhadap ketimpangan ekonomi”.
Paradoks ini bukan sekadar bias agama melainkan rasisme struktural terselubung. Korban kulit hitam di Afrika, meski Kristen atau Muslim, selalu dianggap bagian dari “kekacauan lokal”, bukan tragedi kemanusiaan global. Kekerasan di Eropa disebut “ancaman terhadap peradaban”, tapi kekerasan di Afrika disebut “tantangan pembangunan”.
Media internasional pun ikut bersalah. Alasan mereka sederhana namun beracun, bahwa berbicara terlalu keras tentang kekerasan oleh kelompok Islam ekstrem bisa dituduh islamofobia. Akibatnya, berita disamarkan menjadi “konflik petani-penggembala”, seolah para korban terbunuh bukan karena keyakinan mereka, tetapi karena salah tanam jagung di tanah yang salah.
Sementara negara-negara Barat yang konon menjunjung hak asasi manusia tetap menjual senjata ke kawasan itu. Mereka menutup mata terhadap fakta bahwa sebagian persenjataan tersebut digunakan oleh milisi yang justru membantai warga sipil. Ini bukan sekadar kelalaian moral, bahwa ini kolusi ekonomi dalam skala global.
Atas Nama Kemanusiaan, Bukan Agama
Tulisan ini bukan seruan untuk membalas kebencian dengan kebencian. Justru sebaliknya, bahwa ini ajakan untuk memulihkan moralitas politik global yang telah lumpuh oleh hipokrisi. Bila dunia benar-benar berkomitmen pada human rights, maka penderitaan umat Kristen di Nigeria harus mendapatkan perhatian setara dengan tragedi Gaza, Bosnia, atau Rohingya.
Keadilan sejati tidak memilih agama. Ia berpihak pada korban, bukan pada kekuasaan. Menamai genosida sebagai “konflik komunitas” adalah bentuk pengkhianatan terhadap nilai kemanusiaan itu sendiri.
Sunyi yang Mengutuk
Sejarah berulang bukan karena manusia lupa, tapi karena mereka memilih tidak peduli. Seperti Bosnia di tahun 1995 dan Rwanda di 1994, dunia kini menyaksikan genosida lain dengan kamera yang dimatikan. Setiap keheningan adalah persetujuan terselubung.
PBB boleh terus berpidato tentang Sustainable Development Goals, Trump boleh mengklaim dirinya pembela kebebasan iman, dan Prabowo boleh berbicara tentang “diplomasi pertahanan humanis”. Namun selama mereka membiarkan ribuan warga Nigeria terbunuh hanya karena memeluk salib, mereka semua hanyalah pewaris dari sistem dunia yang korup secara moral.
Dan kelak, sejarah akan menulis bukan hanya siapa yang menembak tetapi siapa yang diam.
Referensi
- Evans, Gareth. “The Responsibility to Protect: An Idea Whose Time Has Come… and Gone?” International relations 22, no. 3 (2008): 283–98.
- Peacock, Dorinda Lea. “It happened and it can happen again: The international response to genocide in Rwanda.” NCJ Int’l L. & Com. Reg. 22 (1996): 899.
Ruben Cornelius Siagian__adalah seorang penulis dan peneliti muda yang memiliki perhatian besar terhadap isu-isu teknologi, politik, dan kemanusiaan. Karya-karyanya banyak membahas hubungan antara kekuasaan, etika, serta dampak sosial dari perkembangan kecerdasan buatan dan digitalisasi global. Dengan latar belakang akademik di bidang hukum dan filsafat politik, Ruben dikenal melalui gaya penulisan yang kritis dan reflektif, memadukan analisis ilmiah dengan kepekaan terhadap realitas sosial. Ia aktif menulis di berbagai media dan jurnal, mengusung tema kedaulatan, keadilan, dan masa depan manusia di tengah disrupsi teknologi.