Rupiah Melemah, Dolar AS Nyaris Sentuh Rp 16.800: Analis Prediksi Bisa Tembus Rp 17.000

Ilustrasi/Foto: Grandyos Zafna
JAKARTA (marwahkepri.com) – Nilai tukar rupiah kembali tertekan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Kamis (25/9/2025). Mengacu data Bloomberg, rupiah melemah 53 poin atau 0,32% sehingga berada di level Rp 16.737 per dolar AS, mendekati ambang Rp 16.800.
Pengamat Ekonomi, Mata Uang & Komoditas Ibrahim Assuaibi memperkirakan pelemahan rupiah bisa berlanjut hingga menembus Rp 17.000 per dolar AS. Menurutnya, potensi itu terbuka apabila rupiah tidak mampu bertahan di level Rp 16.800.
“Kalau seandainya tembus di level Rp 16.800, ada harapan bahwa dalam bulan Oktober rupiah tembus di Rp 17.000. Itu sangat mungkin sekali terjadi,” ujarnya.
Faktor Eksternal: Ketegangan Eropa dan Retorika Trump
Ibrahim menjelaskan penguatan dolar AS dipicu sejumlah faktor eksternal, terutama meningkatnya ketegangan geopolitik di Eropa. Hal itu semakin menguat setelah Presiden AS Donald Trump dalam pidatonya di PBB memperingatkan Eropa agar tidak terus membeli minyak dari Rusia.
Meski belum ada langkah konkret, retorika Trump dinilai menambah ketidakpastian pasar. Sanksi baru berpotensi mengganggu ekspor energi Rusia, atau bahkan memicu balasan berupa pengurangan pasokan oleh Moskow.
“Ukraina dengan bantuan NATO dan AS juga meningkatkan serangan drone terhadap infrastruktur energi Rusia, termasuk kilang minyak dan terminal ekspor. Kondisi ini mengganggu pendapatan Rusia sekaligus menciptakan gejolak di pasar global,” jelas Ibrahim.
Faktor Internal: Kebijakan Fiskal & Pernyataan Menkeu Baru
Selain faktor global, pelemahan rupiah juga dipengaruhi faktor domestik. Ibrahim menilai pasar kurang merespons positif pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, khususnya terkait penolakan program tax amnesty.
Menurutnya, tax amnesty sebelumnya—di era Presiden Joko Widodo bersama Menkeu Sri Mulyani—memberikan dampak positif bagi pasar dengan meningkatkan aliran modal masuk. Penolakan program tersebut oleh Menkeu saat ini justru menimbulkan persepsi negatif.
“Di era Jokowi, tax amnesty dilakukan tiga kali dan disambut baik oleh pasar. Namun sekarang, wacana itu dihentikan karena dianggap sarat kongkalikong. Pasar melihat ini sebagai sinyal negatif,” terang Ibrahim.
Intervensi BI dan Risiko Cadangan Devisa
Bank Indonesia (BI) diketahui terus melakukan intervensi di pasar valas, baik melalui instrumen NDF maupun DNDF. Namun, derasnya spekulasi membuat langkah BI dinilai belum cukup kuat menahan pelemahan rupiah.
“Intervensi yang terus dilakukan bisa menggerus cadangan devisa. Situasi sekarang sangat berbeda dengan periode sebelumnya,” lanjut Ibrahim.
Pandangan Lain: Faktor Suku Bunga & Stimulus Fiskal
Sementara itu, Pengamat Komoditas dan Mata Uang Doo Financial Futures, Lukman Leong, menilai rupiah sebenarnya sempat kuat di awal tahun karena ditopang suku bunga BI dan intervensi rutin. Namun, pemangkasan suku bunga beberapa kali membuat investor terkejut.
Selain itu, pergantian Menteri Keuangan dengan kebijakan fiskal lebih longgar serta revisi UU P2SK yang dinilai mengurangi independensi BI juga menekan kepercayaan pasar.
“Pemerintah ingin mendorong pertumbuhan ekonomi, tapi pasar melihatnya bisa mengorbankan rupiah, inflasi, dan defisit anggaran,” kata Lukman.
Ia juga menyoroti program besar seperti Makan Bergizi Gratis yang menelan biaya Rp 500 triliun per tahun. Menurutnya, anggaran sebesar itu sebaiknya dikaji ulang agar tidak memperberat tekanan pada rupiah.
“Anggaran Rp 2.000 triliun untuk empat tahun seharusnya bisa dijadikan dana abadi pembangunan, bukan menekan fiskal,” tegasnya.
Prospek ke Depan
Baik Ibrahim maupun Lukman sepakat, rupiah masih berisiko melemah lebih dalam. Level Rp 17.000 per dolar AS bisa tercapai dalam waktu dekat, tergantung seberapa agresif BI mempertahankan stabilitas rupiah melalui intervensi pasar.
“Semua kembali pada seberapa kuat cadangan devisa dan keberanian BI menahan spekulasi. Kalau tidak, level Rp 17.000 tinggal menunggu waktu,” tutup Lukman. MK-dtc
Redaktur : Munawir Sani