Bukti Ilmiah dan Tekanan Publik: Ijazah Jokowi Makin Diragukan

Joko Widodo (Jokowi) saat melaporkan 5 orang ke Polda Metro Jaya atas tudingan ijazah palsu, beberapa waktu lalu.

Joko Widodo (Jokowi) saat melaporkan 5 orang ke Polda Metro Jaya atas tudingan ijazah palsu, beberapa waktu lalu. (F: indosatunews)

JAKARTA  (marwahkepri.com) – Kontroversi ijazah Presiden Joko Widodo (Jokowi) semakin memanas seiring dengan temuan ilmiah dan tekanan publik yang kian menguat. Mantan Menteri Ryaas Rasyid secara blak-blakan menyatakan keyakinannya bahwa Jokowi tidak memiliki ijazah sarjana yang sah dari Universitas Gadjah Mada (UGM).

Dalam wawancara di kanal YouTube Abraham Samad SPEAK UP (7 Agustus 2025), Ryaas menegaskan bahwa keengganan Jokowi menampilkan ijazahnya secara terbuka adalah bukti kuat ketidakabsahan dokumen tersebut. “Kalau memang asli, mengapa disembunyikan? Ini pertanda ada yang ditutupi,” tegas Ryaas, yang juga akademisi dan pakar tata negara.

Bukti Ilmiah yang Memojokkan Jokowi

  1. Analisis Font Times New Roman: Rismon Sianipar, mantan dosen Universitas Mataram, mengungkapkan bahwa penggunaan font Times New Roman pada sampul skripsi dan ijazah Jokowi tidak sesuai dengan era 1980-an. Menurutnya, font tersebut belum umum digunakan saat itu, sehingga menimbulkan kecurigaan pemalsuan.
  2. Nomor Seri Ijazah Tanpa Klaster: Fakultas Kehutanan UGM mengakui bahwa format penomoran ijazah Jokowi berbeda karena kebijakan internal fakultas. Namun, hal ini justru dijadikan celah oleh pihak peragu untuk mempertanyakan konsistensi dokumen resmi.
  3. Ketidakkonsistenan dalam Proses Hukum: Meskipun Bareskrim Polri sempat menyatakan ijazah Jokowi asli berdasarkan uji forensik, kasus ini tetap dilanjutkan ke Polda Metro Jaya setelah somasi dari mantan Menpora Roy Suryo. “Kalau tidak ada masalah, mengapa harus dilawan dengan proses hukum yang berbelit?”tanya Ryaas, memperkuat kesan bahwa Jokowi berusaha menghindari transparansi.

 

Respons UGM yang Justru Memperuncing Situasi

UGM melalui Dekan Fakultas Kehutanan, Dr. Sigit Sunarta, membantah tuduhan pemalsuan dengan menyatakan bahwa dokumen Jokowi autentik. Namun, penjelasan mereka tentang penggunaan font dan penomoran ijazah justru memicu pertanyaan baru. “Mengapa UGM tidak segera membuka arsip lengkap untuk mengakhiri polemik ini?” kritik Roy Suryo, yang kini menggugat transparansi kampus.

Tekanan publik semakin besar setelah Jokowi memilih melaporkan para pengkritiknya ke polisi alih-alih membuka dokumen asli. Langkah ini dinilai sebagai upaya mengalihkan perhatian dari substansi masalah. “Ini pengakuan tidak langsung bahwa ada yang disembunyikan,” tegas Ryaas.

Dari temuan ilmiah hingga tekanan hukum, posisi Jokowi semakin terjepit. Menurut Ryaas, sikap defensifnya, dari enggan menunjukkan ijazah hingga menggunakan jalur hukum, justru memperkuat narasi bahwa ada ketidakberesan. Jika tidak segera mengambil langkah transparan, krisis legitimasi ini berpotensi merusak warisan politiknya. “Dia takut ketahuan. Itu sebabnya semua dilawan dengan somasi,” pungkas Ryaas. MK-r

Redaktur : Munawir Sani