Seruan Mengibarkan Bendera One Piece: Simbol Kritik Sosial dan Teguran untuk Pemerintah

1

Pengibaran bendera One Piece dilarang oleh tokoh politik. (F: agustacrisna118)

JAKARTA (MK) – Menjelang peringatan HUT ke-80 Republik Indonesia, media sosial diramaikan dengan seruan untuk mengibarkan bendera bajak laut dari anime One Piece. Bendera hitam bergambar tengkorak bertopi jerami ini bukan sekadar bentuk fandom, melainkan ekspresi kekecewaan publik terhadap kondisi sosial-politik di tanah air.

Pemerintah dan sejumlah anggota parlemen mengecam seruan mengibarkan bendera tersebut, menyebutnya sebagai tindakan provokatif yang dapat memecah belah bangsa, bahkan menudingnya sebagai bentuk makar. Namun di sisi lain, para penggemar One Piece mempertanyakan sikap pemerintah yang dinilai kaku dan terlalu serius dalam merespons aksi yang bersifat simbolik ini.

Bendera fiktif tersebut berlatar hitam dengan gambar tengkorak putih yang tersenyum, dihiasi topi jerami kuning khas tokoh utama One Piece, Monkey D. Luffy. Di belakang tengkorak, terdapat dua tulang yang menyilang: sebuah desain yang ikonik dalam cerita bajak laut fiksi tersebut. Kini, bendera itu tampak dikibarkan di berbagai tempat, dari rumah warga, kendaraan, hingga lokasi wisata, sementara di dunia digital, banyak akun mengganti foto profil mereka dengan simbol tersebut.

Gerakan ini dipandang sebagai bentuk kritik kreatif terhadap ketimpangan sosial dan dominasi kekuasaan. Dosen Hubungan Internasional UMY, Dr. Ade Marup Wirasenjaya, menilai pengibaran bendera One Piece bukanlah ancaman terhadap negara, melainkan ekspresi sosial masyarakat yang kehilangan ruang aspirasi. Menurutnya, ini adalah simbol bahwa “kemerdekaan jangan dibajak oleh segelintir elit”, dan semangat nasionalisme seharusnya tidak berhenti pada seremoni, melainkan tercermin dalam kebijakan dan perilaku para pemimpin.

Ia juga menekankan bahwa selama bendera One Piece tidak dikibarkan lebih tinggi dari Merah Putih, maka fenomena ini justru harus dilihat sebagai teguran konstruktif. Pemerintah disarankan untuk tidak semata-mata menindak dari aspek simbolik, tetapi juga menangkap pesan substantif di balik aksi tersebut, yakni harapan akan keadilan, transparansi, dan keterlibatan publik dalam arah bangsa. MK-r

Redaktur: Munawir Sani