Kelapa Mahal, Warung Makan Terjepit: “Mau Gimana, Tetap Harus Beli”

Kelapa Mahal, Warung Makan Terjepit: “Mau Gimana, Tetap Harus Beli”

Ilustrasi Foto.

JAKARTA (marwahkepri.com) – Harga kelapa yang terus melambung membuat para pemilik warung makan serba salah. Di satu sisi, kelapa adalah bahan baku yang tak tergantikan, terutama untuk menu bersantan. Di sisi lain, menaikkan harga jual atau mengurangi takaran bisa berisiko kehilangan pelanggan.

“Ya gimana? Mau gimana? Mau mahal atau murah tetap harus beli, orang butuh kok,” keluh Leti, pemilik rumah makan di kawasan Jakarta Selatan, kepada CNBC Indonesia, Selasa (10/6/2025).

Leti mengaku, meskipun harga kelapa kini nyaris dua kali lipat dibanding tahun lalu, takaran santan dalam masakannya tetap harus sama.
“Kalau dikurangi takarannya, rasanya berubah. Jadi modalnya saja yang naik, untungnya jadi kecil,” ujarnya pasrah.

Ia berharap pemerintah segera turun tangan mengatasi persoalan kelangkaan dan mahalnya harga kelapa bulat di pasar lokal.
“Katanya sih karena ekspor. Ya tolong diatur ekspornya. Kalau enggak, rakyat kecil seperti kami yang jadi korban,” tambah Leti.

Keluhan serupa datang dari Aro, pemilik rumah makan Padang. Baginya, kelapa bukan sekadar bahan masakan, tapi nyawa dari rasa.

“Saya dengar karena diekspor makanya mahal. Mau gimana lagi, tetap harus beli. Masakan Padang tanpa kelapa atau santan, ya bukan masakan Padang,” ungkapnya.

Pantauan di Pasar Rumput, Jakarta Selatan, menunjukkan harga kelapa masih tinggi, berkisar Rp15.000 hingga Rp18.000 per butir, tergantung ukuran.

Pedagang di pasar tersebut mengeluhkan kondisi ini yang sudah berlangsung berbulan-bulan. Penyebab utamanya disebut-sebut adalah ekspor besar-besaran ke luar negeri, terutama ke China.

“Iya, karena ekspor masih jalan terus. Kita di sini masih rebutan sama yang buat ekspor,” ujar Marni (nama samaran), pedagang kelapa di Pasar Rumput.

Menurutnya, harga dari pengepul sudah tinggi sejak awal.
“Kelapa baru turun dari mobil saja sudah Rp11.000 per butir. Itu belum dihitung ongkos angkut, gaji karyawan, bayar listrik dan air. Jadi untung kami paling cuma Rp2.000 per butir,” ujarnya.

Meski mahal, permintaan dari pembeli tetap tinggi, apalagi saat momen-momen besar seperti Idul Adha.
“Pas Idul Adha ramai banget. Hari biasa juga ramai, karena kelapa memang kebutuhan. Masyarakat tetap beli walaupun mahal,” kata Marni.

Ia bahkan harus menempelkan tangkapan layar berita pernyataan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan agar pembeli memahami alasan di balik kenaikan harga.
“Biar mereka tahu, ini memang karena pasokan kurang dan harga naik,” jelasnya.

Saat ditanya kemungkinan harga akan turun, Marni pesimistis.
“Katanya yang di Lampung sudah teken kontrak ekspor sampai September. Jadi kemungkinan besar masih akan ekspor terus.”

Namun, menurutnya, biasanya ekspor sempat dihentikan sementara menjelang Lebaran.
“Pas mau Lebaran, biasanya ekspor disetop dulu. Mau minta berapa juga dikasih. Tapi setelah Lebaran, dibatasi lagi. Sekarang saya minta 150, dikasih. Mk-cnbc

Redaktur: Munawir Sani