Natuna di Persimpangan Desentralisasi: Kewenangan yang Menyempit, Laut yang Kian Sulit Diatur
Penulis Grace Naomi Manullang
Kabupaten Natuna kembali menjadi sorotan dalam diskusi mengenai efektivitas desentralisasi di wilayah kepulauan. Setelah sejumlah kewenangan kelautan dialihkan kembali kepada pemerintah pusat, pemerintah daerah merasa kehilangan ruang gerak dalam mengelola sektor yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi dan identitas masyarakatnya.
Dalam beberapa tahun terakhir, proses pengajuan izin pemanfaatan ruang laut, pengawasan aktivitas maritim, hingga koordinasi pemanfaatan sumber daya pesisir harus melalui mekanisme lintas lembaga yang lebih panjang. Bagi daerah perbatasan yang bergantung pada respons cepat, situasi ini tidak hanya memperlambat pelayanan, tetapi juga memunculkan kekhawatiran mengenai efektivitas tata kelola di kawasan strategis nasional.
Dosen kebijakan publik UMRAH, Dr. R. Diandra Fadillah, menilai tantangan Natuna bukan sekadar persoalan administratif, tetapi bagian dari problem struktural desentralisasi yang belum sepenuhnya mempertimbangkan karakter geografis. “Natuna adalah daerah kepulauan dengan rentang kendali yang luas. Desentralisasi yang bersifat seragam membuat kemampuan daerah terbatas dalam merespons dinamika lokal,” ujarnya.
Natuna juga menghadapi keterbatasan fiskal. Ketergantungan pada transfer pusat membuat pembangunan infrastruktur dasar—mulai dari transportasi laut hingga fasilitas pelayanan publik—berjalan tidak secepat kebutuhan masyarakat. Sementara itu, biaya pembangunan di wilayah kepulauan jauh lebih tinggi dibandingkan daerah daratan.
Dalam pandangan saya sebagai mahasiswa yang mempelajari isu desentralisasi, kondisi Natuna memperlihatkan bahwa desain hubungan pusat dan daerah perlu ditinjau ulang. Wilayah kepulauan seperti Natuna tidak dapat diperlakukan sama dengan daerah daratan yang akses dan struktur pemerintahannya lebih sederhana. Ketika kewenangan utama dalam sektor maritim ditarik ke pusat, daerah kehilangan fleksibilitas untuk mengatur ruang hidup masyarakatnya sendiri.
Laut bagi masyarakat Natuna bukan sekadar aset ekonomi, tetapi ruang sosial, budaya, dan penguatan identitas perbatasan. Karena itu, pola desentralisasi asimetris yang memberi ruang lebih besar kepada daerah berkepulauan tampak semakin mendesak. Kebijakan yang terlalu terpusat justru menempatkan Natuna dalam posisi menunggu, padahal tantangan keamanan, ekonomi, dan pelayanan publik di perbatasan menuntut ketangkasan.
Desentralisasi idealnya menjadi jembatan antara kebutuhan lokal dan kebijakan nasional. Namun tanpa penyesuaian terhadap karakter geografis dan sosial, kebijakan tersebut berisiko menjadi hambatan baru bagi daerah. Natuna membutuhkan kewenangan yang memungkinkan mereka bertindak cepat, disertai dukungan kapasitas teknis dan fiskal yang memadai. Dengan begitu, potensi maritimnya dapat dikelola lebih optimal, dan keberadaannya sebagai benteng perbatasan Indonesia semakin kuat.
Natuna memberi pelajaran penting bahwa desentralisasi bukan soal membagi kewenangan secara merata, melainkan menyesuaikan kebijakan dengan realitas wilayah. Jika ruang gerak daerah kepulauan semakin menyempit, maka harapan akan tata kelola yang responsif juga ikut menjauh. Indonesia sebagai negara kepulauan membutuhkan kebijakan yang tidak hanya berpihak pada pusat, tetapi juga memberi napas bagi daerah yang menjaga batas-batasnya.
Grace Naomi Manullang___adalah Mahasiswa Ilmu Pemerintahan, FISIP, Universitas Maritim Raja Ali Haji
