Mengapa Orang Miskin Sulit jadi Kaya? Ekonom: Kerja Keras Saja Tak Cukup

jui

Ilustrasi warga miskin. (Foto: kompas)

JAKARTA (marwahkepri.com) – Ketimpangan ekonomi masih menjadi persoalan serius di Indonesia. Ungkapan bahwa “yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin” dinilai bukan sekadar persepsi belaka. Para ekonom menyebut kerja keras saja tidak cukup untuk membawa masyarakat berpenghasilan rendah naik kelas secara ekonomi.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menjelaskan kondisi ini terlihat jelas dari Social Mobility Index atau indeks mobilitas sosial Indonesia yang masih tertinggal dari sejumlah negara tetangga di Asia Tenggara.

“Data menunjukkan bahwa mobilitas sosial di Indonesia rendah. Social Mobility Index menempatkan Indonesia di urutan ke-67, lebih rendah dibanding Vietnam, Thailand, Filipina. Artinya kerja keras tidak menjamin status sosial akan naik,” ujar Bhima seperti dilansir dari detikcom, Selasa (2/12/2025).

Menurut Bhima, memiliki pekerjaan saja tidak serta-merta membuat masyarakat miskin bisa naik kelas. Mayoritas pekerjaan mereka masih bersifat informal dengan pendapatan yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan harian, tanpa ruang untuk meningkatkan kesejahteraan secara berkelanjutan.

“Orang miskin mendapat pekerjaan tidak langsung bisa jadi kelas menengah. Cuma mitos rajin kerja pangkal kaya. Ada masalah struktural yang membuat orang miskin melahirkan kemiskinan baru,” tegasnya.

Ekonom Senior INDEF, Tauhid Ahmad, menyampaikan pendapat senada. Menurutnya, terdapat “lingkaran setan kemiskinan” yang membuat masyarakat kelas bawah sulit memperbaiki nasib.

“Pendidikan rendah menyebabkan pekerjaan berpenghasilan rendah, dan pendapatan rendah akan menghasilkan biaya pendidikan rendah pula,” ujar Tauhid.

Sementara itu, kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi memiliki akses lebih besar terhadap pendidikan dan kesempatan ekonomi, sehingga kekayaan mereka terus bertambah.

Fenomena ketimpangan ini terlihat dari indikator jumlah tabungan masyarakat. Data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menunjukkan simpanan di bawah Rp 100 juta pertumbuhannya melambat, sementara simpanan di atas Rp 5 miliar meningkat signifikan.

Indikator lain adalah gini rasio, yang mencerminkan tingkat ketimpangan pendapatan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat gini rasio nasional berada di angka 0,375. Sebanyak tujuh provinsi memiliki tingkat ketimpangan lebih tinggi dari rata-rata nasional, dengan yang tertinggi adalah DKI Jakarta sebesar 0,441.

“Artinya kesenjangan pendapatan kita masih relatif tinggi. Dua indikator ini paling kuat menunjukkan ketimpangan antarpenghasilan,” kata Tauhid.

Dengan kondisi tersebut, para ekonom menekankan pentingnya intervensi kebijakan yang tidak hanya fokus pada penciptaan pekerjaan, tetapi juga pemerataan akses pendidikan, jaminan sosial, serta peningkatan kualitas pekerjaan untuk masyarakat kelas bawah. MK-mun/dtk

Redaktur: Munawir Sani