OPINI | Otonomi Tanjungpinang: Mandiri di Atas Kertas, Terjajah dalam Kenyataan

Opini

Penulis Adelia Januarti

Dua puluh empat tahun telah berlalu sejak Tanjungpinang ditetapkan sebagai wilayah otonom berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2001. Di saat itu, ada harapan besar bahwa kota ini akan mampu mengelola dirinya sendiri, menciptakan identitasnya, dan mempercepat kemajuan masyarakatnya. Namun, setelah lebih dari dua dekade, muncul pertanyaan yang sulit untuk diabaikan: apakah otonomi benar-benar memberikan Tanjungpinang kekuasaan atas kebijakannya sendiri?

Melihat kondisi saat ini, jawabannya belum sepenuhnya positif. Dalam hal administrasi, Tanjungpinang sudah otonom. Pemerintah kota memiliki sistem pemerintahan sendiri, kepala daerah dipilih secara langsung, dan berbagai urusan pemerintahan telah diserahkan kepada mereka. Namun, dari segi substansi, kota ini masih belum memiliki kekuatan penuh untuk melakukan otonomi dengan efektif. Ada celah yang membuat Tanjungpinang terlihat mandiri di permukaan, tetapi dalam praktiknya masih bergantung dan terbatas.

Dalam konsep desentralisasi, terdapat tiga pilar utama yang mendasari otonomi daerah: kewenangan politik, kewenangan administratif, dan kapasitas fiskal. Tanjungpinang telah memiliki dua dari tiga pilar tersebut. Namun, pilar ketiga kapasitas fiskal masih merupakan kekurangan yang menghambat optimalisasi otonomi kota ini. Kapasitas fiskal tidak hanya terkait dengan anggaran belanja pemerintah, tetapi juga meliputi pengelolaan aset daerah, pengembangan potensi setempat, serta penetapan sumber pendapatan yang konsisten.

Di sinilah permasalahan mendasar Tanjungpinang terlihat. Laporan Suluh Kepri menunjukkan bahwa transfer aset dari daerah induk belum sepenuhnya berhasil. Beberapa aset yang berada di dalam kawasan Kota Tanjungpinang tidak sepenuhnya dikuasai oleh pemerintah kota. Jika aset tidak sepenuhnya dikuasai, maka kesempatan kota untuk memanfaatkannya sebagai sumber pendapatan daerah akan terbatas. Padahal, untuk sebuah kota yang mandiri, aset merupakan instrumen penting untuk memperkuat kemandirian fiskal dan memperluas ruang pembangunan.

Keterbatasan aset ini membuat Tanjungpinang kesulitan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) secara signifikan. Ketergantungan pada dana dari pemerintah pusat dan provinsi tetap tinggi. Keadaan ini mengakibatkan pemerintah kota sering beroperasi dalam batasan kebijakan yang sempit. Meskipun wewenang telah diberikan, kemampuan pembiayaan untuk mengelola wewenang tersebut tidak berkembang sejalan dengan kebutuhan pembangunan.

Gambaran stagnasi ini juga terlihat dalam ulasan ulang tahun ke-24 Kota Tanjungpinang yang ditulis oleh Tinta Jurnalis News. Media tersebut mencatat bahwa perkembangan kota berjalan lambat, bahkan terkesan tidak ada kemajuan. Infrastruktur fisik memang bertambah, namun peningkatan kualitas hidup warga belum menunjukkan kemajuan yang berarti. Pemberdayaan ekonomi masyarakat, terutama untuk UMKM, pariwisata sejarah, dan sektor ekonomi kreatif, masih belum optimal. Masalah ini bukan hanya terkait dengan kemampuan pemerintah kota, tetapi juga karena struktur desentralisasi yang belum memberikan dukungan yang memadai.

Otonomi yang seharusnya memberikan kebebasan bagi daerah terasa lebih sebagai beban tanpa dukungan sumber daya yang cukup. Pemimpin daerah yang terpilih melalui proses demokratis beroperasi dalam ruang kebijakan yang terbatas oleh kapasitas fiskal. Meskipun mereka memiliki legitimasi politik, mereka kesulitan untuk melakukan perubahan pembangunan dengan cepat.

Padahal, Tanjungpinang memiliki potensi yang sangat besar. Sebagai pusat budaya Melayu dan kota yang penuh sejarah, Tanjungpinang memiliki kesempatan untuk mengembangkan wisata sejarah dan budayanya dengan baik. Kota ini juga memiliki ciri khas sebagai daerah pesisir yang mendukung pertumbuhan ekonomi maritim berbasis masyarakat. Potensi ini bisa berkembang lebih cepat jika kota mendapatkan dukungan fiskal dan pengelolaan aset yang tepat agar dapat membangun infrastruktur dan program unggulan secara berkelanjutan.

Oleh karena itu, tindakan strategis diperlukan untuk memperkuat arti otonomi di Tanjungpinang. Pertama, penyelesaian status aset harus menjadi fokus utama. Pemerintah kota harus memastikan bahwa semua aset yang ada dalam wilayah administrasinya dapat dikuasai dan dimanfaatkan secara maksimal. Kedua, strategi peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) seharusnya difokuskan pada potensi lokal yang khas, bukan hanya mengandalkan pajak atau retribusi yang biasa. Ketiga, kerjasama antara pemerintah kota, provinsi, dan pemerintah pusat perlu ditingkatkan agar program-program penting daerah bisa terealisasi.

Pada usia 24 tahun, Tanjungpinang bukan lagi kota otonom yang baru saja berkembang. Kota ini seharusnya berada pada tahap yang lebih matang dalam pengelolaan dan pembangunan. Namun, kematangan tersebut baru bisa terwujud apabila aspek-aspek dasar otonomi daerah seperti aset, keuangan, dan kapasitas lembaga mendapat perhatian yang serius. Tanpa hal-hal tersebut, otonomi Tanjungpinang akan tetap menjadi sekadar label administratif: terlihat kuat di atas kertas, tetapi lemah dalam praktiknya. ~

Adelia Januarti___Mahasiswi Program Studi Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Maritim Raja Ali Haji