Dinilai “Istri Dewa”, Tapi Hidup Sebagai Pekerja Seks: Realita Kelam Devadasi

20ccca30-b011-11f0-8317-a7963fdcfd4f

Sakhi TrustAnkita berharap dapat keluar dari sistem devadasi dan menemukan suami. (f: ist)

INDIA (marwahkepri.com) — Meskipun telah dilarang lebih dari empat dekade lalu, praktik kuno devadasi di India Selatan masih terus menjebak ribuan perempuan dari kasta bawah ke dalam eksploitasi seksual berkedok ritual keagamaan.

Chandrika (bukan nama sebenarnya), kini berusia akhir 30-an, adalah salah satu korban. Pada usia 15 tahun, ia dinikahkan secara simbolis dengan dewi di sebuah kuil di kota Belgaum, Karnataka. Ia baru menyadari kemudian bahwa upacara itu berarti ia telah diinisiasi menjadi devadasi — “budak Tuhan.”

Empat tahun setelah upacara, Chandrika dibawa ke kota Sangli dengan janji pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga. Namun, ia justru dijual ke rumah bordil dan dipaksa melayani belasan klien setiap hari.
“Tubuhku lemah, mentalku hancur,” ujarnya kepada BBC.

Tradisi Kuno yang Berubah Jadi Eksploitasi

Sistem devadasi telah ada selama lebih dari seribu tahun. Awalnya, perempuan dipersembahkan untuk melayani kuil dan tampil sebagai penari serta penyanyi suci. Namun, seiring waktu, tradisi itu bergeser menjadi bentuk prostitusi terselubung yang dilegalkan.

Meski praktik ini dilarang di Karnataka sejak 1982, survei pemerintah pada 2008 mencatat masih ada lebih dari 46.000 devadasi di negara bagian tersebut. LSM setempat memperkirakan 95% di antaranya berasal dari kasta Dalit.

“Setiap tahun kami masih mencegah tiga hingga empat gadis diinisiasi, tapi banyak upacara dilakukan secara rahasia,” kata Dr. M. Bhagyalakshmi dari Sakhi Trust, lembaga yang membantu korban devadasi.

Tekanan Sosial dan Kemiskinan

Banyak keluarga miskin menjadikan anak perempuan mereka sebagai devadasi karena tekanan ekonomi dan kepercayaan bahwa dewi akan mengutuk jika tradisi itu dihentikan.
Ankita (23), salah satu korban, mengaku dipaksa menjadi devadasi setelah keluarganya berhenti memberinya makan selama seminggu.
“Aku merasa sedih, tapi akhirnya menerimanya demi keluarga,” katanya.

Sepupunya, Shilpa, juga berusia 23 tahun, ditinggalkan dalam keadaan hamil oleh pria yang menjadikannya pasangan intim setelah upacara inisiasi.
“Dalam sistem kami, laki-laki tidak datang untuk menikah,” ujarnya.

Harapan di Tengah Penderitaan

Chandrika kini bekerja di sebuah LSM dan rutin menjalani pemeriksaan HIV. Ia bertekad melindungi anak perempuannya agar tidak bernasib sama.
“Saya menikahkan anak saya lebih awal supaya dia tidak dijadikan devadasi seperti saya,” katanya.

Baik Chandrika, Shilpa, maupun Ankita kini berharap tradisi devadasi benar-benar berakhir di generasi mereka.
“Saya ingin menikah dan melepas kalung mutiara ini,” ujar Ankita, simbol ikatan yang membuatnya menjadi milik dewi sekaligus sistem yang mengekangnya. MK-dtc

Redaktur : Munawir Sani