Cinta yang Tertinggal di Lorong Sekolah

ChatGPT Image 6 Nov 2025, 00.05.49

Lagu Cinta Dalam Hati dari Ungu selalu membuatku terlempar jauh ke masa SMA, masa yang riang sekaligus muram, seperti langit mendung yang tak kunjung menumpahkan hujannya.

Pagi itu udara dingin. Angin berembus lembut di sela jendela kelas. Seperti biasa, kegiatan belajar di SMA Negeri 3 Panyabungan berjalan tertib.
Tiba-tiba, tuk… tuk… tuk… pintu kelas diketuk.

Seorang gadis berdiri di ambang pintu. Rambutnya agak lembap oleh gerimis, senyumnya malu-malu. Guru mempersilahkannya masuk, dan ia berjalan pelan menuju bangku kosong di depan mejaku. Sejak hari itu, ia selalu duduk di sana, di hadapanku.

Hari berganti musim. Daun-daun gugur, bunga-bunga mekar lagi, dan waktu berlalu tanpa suara. Kami semakin dekat, tanpa pernah benar-benar menyadarinya.

Aku sering menatap matanya yang bening, senyumnya yang meneduhkan, tawanya yang mengalun ringan. Setiap kali melihatnya, rasanya seperti melihat perempuan untuk pertama kalinya. Ada bahagia yang tumbuh bersama luka di dada.

Namun aku sadar, bunga yang kusiram setiap hari ternyata telah dipetik orang lain. Entah mengapa, aku tetap saja menaburkan benih cinta ke dalam tanah yang tak akan pernah menumbuhkannya.

Pertama kali mendengar lagu Cinta Dalam Hati, aku merasa seolah liriknya diciptakan untukku. Lelaki yang hanya mampu mengagumi tanpa dicintai. Kadang aku bertanya pada diri sendiri, apakah memang ini takdirku: mencinta dalam diam, menunggu tanpa arah.

Liriknya terlalu indah untuk tidak dirasakan. Hanya mereka yang pernah mencinta tanpa suara yang tahu bagaimana rasanya menahan hati di tengah keheningan.

Dalam kisah SMA-ku yang kelabu, aku justru menikmati ketidaktahuannya. Menikmati peranku sebagai bayangan yang perlahan hilang, menyatu dalam gelap.

“Tak mengapa bagiku, asal kau pun bahagia dalam hidupmu…”
“Telah lama kupendam perasaan itu, menunggu hatimu menyambut diriku…”

Aku selalu berharap ada waktu yang tepat untuk berkata jujur. Tapi waktu tak pernah berpihak. Hingga semuanya usai, rasa itu tetap terpendam,  terkubur begitu dalam, mungkin sudah menyatu dengan darahku sendiri.

Menjelang kelulusan, jantungku berpacu lebih cepat dari biasanya. Aku ingin sekali memeluknya, menggenggam tangannya, menghapus air matanya, membelai rambut panjangnya, dan mengatakan, “Aku suka padamu.”

Tapi semua itu hanya keinginan, keinginan yang tak pernah bersuara. Aku tetap seperti kemarin: bisu oleh rasa yang terlalu dalam.

Hari perpisahan tiba. Semua siswa berfoto ria, saling tertawa, saling berpelukan. Aku berdiri di belakang kantin sekolah, tempat kecil di mana bunga-bunga tumbuh dan wangi tanah basah masih terasa. Di sanalah dulu ia suka berhenti sebentar, sekadar mencium bunga yang mekar. Dan di sanalah pula kami pertama kali berbicara.

Aku menunggunya hari itu. Tapi waktu lewat begitu saja.
Tak ada yang tahu kisah si pemendam rasa, lelaki yang mencintai dalam diam, dengan kesetiaan yang hanya dimengerti oleh kesunyian.

Redaktur : Munawir Sani