KOLOM | Trilogi Masterpiece dan Konfrontasinya dengan Generasi Alpa
Trilogi Masterpiece karya Muhammad Natsir Tahar. (F: dok. MNT)
Terbitkan buku Anda sekarang, atau tak lama lagi semua karya tulis Anda hanya dianggap sebagai kumpulan angka dari menekan tombol kalkulator. Serius!__Muhammad Natsir Tahar
Oleh Muhammad Natsir Tahar
Kita sedang bersemuka dengan jurang transisi peradaban, menyaksikan sebuah paradoks yang mencengangkan: Generasi Alpa, mereka yang lahir dari rahim digital dan menyusu pada algoritma, yang dengan sadar mengadopsi AI sebagai alat bantu kreatif, (salah satunya) dalam lomba-lomba menulis online. Sebuah ironi menggelisahkan batin, ketika para calon penulis telah menyerahkan proses penciptaan mereka kepada mesin sejak hari pertama dalam upaya meraih pengakuan atas “karya orisinal”. Dalam konteks inilah, Trilogi yang saya tulis [Ruang Kosong Metafilo, U-Distopia, dan Melayu: Memoria et Examina] mencoba menjadi semacam kompas eksistensial.
Trilogi ini berperilaku sebagai proyek filosofis yang utuh membentang dari pertanyaan-pertanyaan metafisik yang paling dalam, melalui teka-teki distopis masa depan, hingga ke pembedahan kritis atas identitas kultural. Ia mengisyaratkan penawaran pada Generasi Alpa sebuah peta untuk menavigasi paradoks mereka: bagaimana merangkul teknologi tanpa kehilangan jati diri yang otentik.
Jika kita menelusuri kembali sejarah kalkulator, nasib ahli matematika yang tergantikan oleh mesin hitung kini menemukan manifestasinya yang lebih kompleks. Ketika kalkulator mendemokratisasi matematika dengan mengorbankan keahlian mental tertentu, AI penulis kini mendemokratisasi sastra dengan mengorbankan otentisitas. Generasi Alpa terjebak dalam dilema psikologis yang dalam: di satu sisi mereka menikmati kemudahan yang ditawarkan teknologi, di sisi lain mereka merasakan kegelisahan bawah sadar tentang keaslian suara mereka sendiri.
Dalam konteks kekinian, lomba menulis online [sebagai gejala awal] sampai apapun yang bisa dihasilkan AI dalam bentuk teks, menjadi mikro-kosmos dari pertarungan antara manusia dan mesin. Sebagian besar peserta generasi Alpa menggunakan AI sebagai kolaborator tak kasat mata: sebuah hubungan simbiosis yang mengaburkan batas antara inspirasi manusia dan kecerdasan buatan.
Kita akan sampai pada kesimpulan yang sama: semua karya tulis tak lama lagi masuk ke dalam jebakan bahkan penghukuman, stigmatisasi label: “hanya produk mesin” meskipun Anda menegasikannya sebagai hasil karya otentik dengan bakat yang diturunkan dari langit. Siapa peduli bahwa Anda adalah ahli Sempoa atau Aritmatika paling dewa dalam konteks Matematika. Yang kemudian tersisa hanyalah pujian pada prompting condition atau prompt engineering, bukan lagi pada kemampuan kita dalam menulis otentik. Lalu semua orang entah dari mana saja, sudah bisa “menulis buku”.
Paradoksnya terletak pada upaya mereka mengekspresikan individualitas melalui alat yang justru menghomogenisasi gaya. Seperti yang diingatkan Ruang Kosong METAFILO, ketika fenomena budaya pop menggelinding menuju akhir zaman dengan menepikan esensi individu, kita harus bertanya: di manakah letak “suara asli” ketika setiap kata bisa direkayasa oleh algoritma?
Dilema otentisitas ini menyentuh persoalan filosofis mendalam. Martin Heidegger dalam konsep Dasein-nya menekankan pentingnya being in the world yang otentik, sementara Jean Baudrillard memperingatkan kita tentang simulacra sebagai tanda tanpa referensi pada realitas. Dalam konteks lomba menulis berbantuan AI, apakah yang kita saksikan adalah kelahiran bentuk ekspresi baru, atau justru kematian gradual dari suara manusia yang otentik? Generasi Alpa berada di persimpangan jalan: mereka adalah anak-anak zamannya yang harus menavigasi antara efisiensi teknologis dan integritas artistik.
Peran Trilogi pada Dilema Futurisme
Ketiga buku dalam trilogi ini masing-masing memainkan peran unik dalam menjawab kegelisahan zaman yang melahirkan Generasi Alpa.
Ruang Kosong METAFILO adalah fondasi. Buku ini menyelam ke dalam pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang mungkin selamanya berada di luar jangkauan AI, seperti “Untuk apa kita dikirim ke bumi?” atau “Apakah Tuhan merasa kesepian?”. Dalam dunia yang terobsesi pada jawaban instan nan efisien, buku ini justru merayakan keberanian untuk bertanya. Bagi Generasi Alpa yang hidup di balik antarmuka digital, buku ini adalah pengingat akan “ruang kosong” dalam diri manusia: sebuah ruang metafisis yang tidak dapat diisi oleh algoritma apa pun. Ia membangkitkan daya ingat filosofis yang menjadi senjata melawan kedangkalan.
U-Distopia adalah peringatan. Buku ini secara visioner membongkar paradoks yang sedang dijalani Generasi Alpa: kehidupan yang terkurasi oleh “Agama Data”. Keresahannya tentang AI yang bukan sekadar alat, melainkan agen otonom yang mampu membentuk mitologi digitalnya sendiri, adalah gambaran nyata dari dunia yang menciptakan Generasi Alpa. Narasinya tentang presiden robot dan anarki data bukan lagi fiksi murni, melainkan skenario yang sedang dipertaruhkan. Buku ini memaksa generasi ini untuk tidak hanya menjadi pengguna teknologi yang naif, tetapi menjadi pengawasnya yang kritis, dengan kesadaran penuh akan potensi distopisnya.
Melayu: Memoria et Examina adalah penawar. Jika Generasi Alpa hidup dalam budaya copy-paste dan narasi yang mudah, buku ini mengajarkan seni memeriksa (examina). Dengan membongkar narasi besar sejarah Melayu, buku ini menunjukkan bahwa identitas, baik personal maupun kultural bukanlah sesuatu yang given, ini adalah hasil dari penyelidikan kritis yang terus-menerus. Dalam konteks AI yang bisa memproduksi narasi dalam hitungan detik, metode examina inilah yang menjadi benteng terakhir otentisitas. Buku ini mengajak Generasi Alpa untuk merajut identitasnya sendiri, bukan mengonsumsi identitas yang disodorkan algoritma.
Trilogi Masterpiece ini, jika dibaca sebagai sebuah kesatuan, bukan hanya mendiagnosis masalah, tetapi juga menawarkan sebuah jalan keluar filosofis bagi Generasi Alpa.
Jalan itu dimulai dengan keberanian untuk meragukan (Ruang Kosong METAFILO), dilanjutkan dengan kewaspadaan kritis terhadap kekuatan teknologi (U-Distopia), dan diakhiri dengan upaya rekonstruksi identitas melalui pemeriksaan yang jujur dan mendalam (Melayu: Memoria et Examina). Proses inilah yang dapat menyelamatkan Generasi Alpa dari jerat paradoks mereka: memakai teknologi tanpa diperalat olehnya.
Trilogi Muhammad Natsir Tahar dengan demikian adalah semacam kitab penangkal ilusi. Dalam bayang-bayang AI yang sanggup menulis seperti manusia, suara manusia yang otentik justru harus lahir dari kesadaran yang lebih dalam, pertanyaan yang lebih berani, dan pemeriksaan diri yang lebih saksama. Sebagaimana diingatkan dalam semangat examina, masa depan bukan tentang menolak teknologi, tetapi tentang merdeka di hadapannya, dan trilogi ini adalah pemandu menuju kemerdekaan itu. ~
SINOPSIS
Ruang Kosong Metafilo
ISBN: 978-623-89208-0-8
Penulis: Muhammad Natsir Tahar
Penerbit: Focus Publishing Intermedia
Tebal: 555 (xx + 535) halaman
Buku setebal 555 halaman berjudul Ruang Kosong METAFILO menyajikan tema–tema humaniora klasik maupun kontemporer terutama yang bergenre filsafat. Membidik retakan-retakan sosial dan sisi–sisi kehidupan yang absurd namun dianggap sebagai nalar wajar [common sense], ketika fenomena budaya pop menggelinding menuju akhir zaman dengan menepikan esensi individu: misalnya tentang deretan pertanyaan untuk apa kita dikirim ke bumi? Apakah Tuhan merasa kesepian? Apakah Dia butuh tontonan melalui ujian?
Buku ini begitu banyak menyajikan cara berpikir filosofis apakah itu dipandu oleh para filosof atau penggalian divergen oleh penulis untuk menawarkan suatu dialektika namun berupaya mengindari tendensi sebagai pengguru publik. Tema–tema bersifat holistis dalam banyak gagasan besar dan menarik pembaca dari kekakuan tribal menjadi masyarakat global. Dari kesempitan dogma ke cara pandang masyarakat kosmo yang spiritualis.
Buku ini juga berbicara tentang historia peradaban dunia untuk ditarik ke dalam konteks kekinian guna memetik pelajaran dari kecelakaan sejarah sekaligus mengagumi pesona dari tempat tumbuhnya agama, sastra, filsafat, dan ilmu sampai kepada letupan renaisans dan dentangan mesin uap yang memicu revolusi industri. Sebagaimana filsafat yang selalu holistik, buku ini tidak hanya berbicara tentang bumi dan penghuninya, namun juga tentang sebentang kosmos misalnya bagaimana cara kerja penunjuk waktu di Pluto atau Horizon Peristiwa dekat Lubang Hitam [Black Hole]. Lebih jauh, buku ini membahas pembalikan teorema kaku dalam Fisika Newtonian Klasik ketika dihadapkan pada penemuan-penemuan mencengangkan dari Fisika Kuantum. ~
U-Distopia
Penulis: Muhammad Natsir Tahar
ISBN: 978-634-04-2244-3
Tebal: 484 (x + 474) pages
Penerbit: Focus Publishing Intermedia
Buku ini diberi judul U-DISTOPIA, yang dimaknai sebagai arena adu cepat antara utopia dan distopia. Bak dewa Janus dalam mitologi Yunani yang berwajah dua. Satu wajah menunjukkan optimisme, harapan perubahan dan masa depan menuju utopia. Wajah lainnya mengekspresikan pesimisme, keraguan, kegalauan, kesuraman sebagai simbol distopia.
Buku ini juga mengangkat kerisauan futurisme: potensi-potensi unggul umat manusia yang dipuja dalam fase modernisme mulai digantikan oleh Agama Data. Bila agama ini anarkis, dia akan membuang semua pemikir–pemikir usang yang lamban dan berpotensi gagal ke dalam tong sampah peradaban akhir zaman. Maka lini masa kita akan segera tamat.
AI bukan sekadar alat, melainkan agen otonom yang bisa membuat keputusan dan membentuk mitologi digital sendiri di luar kendali manusia. Simfoni terbaik sekelas Beethoven, prosa dan puisi terindah Kahlil Gibran atau keunikan alegori Franz Kafka akan dengan mudah ditulis secara robotik dengan kualitas yang membuat manusia tidak mampu membedakannya, untuk tidak mengatakan: melebihinya.
Di negeri-negeri yang masih mengaku republik, kekuasaan terus dikekang oleh elit dan dinasti politik. Demokrasi dijalankan sebagai rutinitas tanpa ruh, hanya demi menggilir kekuasaan, bukan memperluas keadilan. Para penguasa mengaburkan batas antara negara dan keluarga, antara kepentingan publik dan privasi elit.
Di tengah kerusakan politik itu, muncul musuh baru: teknologi yang tak berbatas dan tak punya kode moral. Artificial General Intelligence (AGI) sebagai penyempurnaan dari Artificial Intelligence (AI) dan apa yang disebut Agama Data, telah menggantikan para filsuf untuk menjadi nabi masa depan.
Bahkan untuk menghapus kebisingan dan pemborosan oleh ritual pesta demokrasi, dapat diciptakan presiden robot terbaik jauh melebihi seluruh presiden yang pernah ada. Dalam negara autopilot futuristik, presiden manusia dan lini pemimpin di bawahnya mungkin masih diperlukan sebatas simbol.
Antisipasi terhadap ancaman kiamat digital dengan algoritma big data adalah pekerjaan rumah terbesar kita, di samping tetap harus membereskan persoalan kekinian bangsa yang ditangani secara banal, kebisingan demokrasi, mega korupsi yang kultural dan sistematis, gelembung ekonomi, bonus demografi, dan merosotnya dialektika esensial sebagai anak bangsa, akibat defisitnya literasi. ~
Melayu: Memoria et Examina
Author: Muhammad Natsir Tahar
ISBN: 978-634-04-4287-8
Pages: 444 (xii + 432) pages
Publisher: Focus Publishing Intermedia
Buku setebal 444 halaman berjudul Melayu: Memoria et Examina ini adalah sebuah pembedahan intelektual yang berani terhadap tubuh besar sejarah dan identitas Melayu. Buku ini tidak lagi menyajikan sejarah sebagai rangkaian puja-puji, melainkan sebagai sebuah Tempat Kejadian Perkara yang harus diperiksa ulang. Penulis mengambil peran sebagai jaksa sekaligus arkeolog pemikiran yang mengajak pembaca untuk tidak hanya mengingat (Memoria), tetapi berani memeriksa (Examina) setiap mitos, narasi, dan aksioma yang selama ini dianggap final.
Karya ini hadir dengan misi yang jelas dan kritis: membongkar mitos legitimasi yang menjadi landasan kekuasaan feodal, termasuk menguji klaim keturunan Iskandar Zulkarnain yang selama ini menjadi “legitimasi ilahi” raja-raja Melayu. Penulis berupaya merekonstruksi narasi yang tercecer, dari naskah-naskah di Leiden hingga artefak di tanah air, untuk menyusun sebuah narasi yang lebih kompleks dan inklusif, yang tidak hanya didominasi oleh suara istana. Dengan menggunakan pelbagai pisau analisis dari genealogi Foucault, psikologi Jung, hingga skeptisisme Nietzsche, buku ini membedah keyakinan kultural yang dianggap sakral, menjadikannya bukan sekadar buku sejarah, melainkan sebuah karya filsafat kebudayaan.
Pada akhirnya, tujuan buku ini adalah provokasi intelektual. Ia ingin menggugah generasi Melayu kontemporer untuk meninggalkan romantisme buta dan merajut identitas baru yang berdiri di atas fondasi kebenaran kritis, bukan dongeng kemegahan. Buku ini adalah sebuah “intellectual wake-up call” yang akan mengubah cara Anda memandang “Melayu” selamanya. Bacalah jika Anda siap untuk diajak menyelam ke dalam lautan ingatan kolektif, menerjang badai kontroversi, dan keluar dengan pertanyaan-pertanyaan baru yang lebih membebaskan. ~
