Aliansi Seniman dan Budayawan Riau Tuntut Alokasi 10% PI Migas untuk Dana Abadi, Seni Budaya

Agoes PI

PEKANBARU (MK) – K

Ketua Umum Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kota Dumai, Agoes S. Alam, merespon positif dan mendukung penuh langkah advokasi yang dilakukan oleh Aliansi Seniman dan Budayawan Riau (ASBR) dalam perjuangan agar Pemerintah Pusat mengalokasikan sepuluh persen (10%) dari hasil Participating Interest (PI) Migas untuk dijadikan Dana Abadi Seni dan Budaya Riau

“Ini adalah perjuangan untuk menegakkan hak kultural daerah. Riau sebagai salah satu penghasil Migas terbesar sudah seharusnya menjamin keberlanjutan dan kemakmuran budayanya melalui sumber daya yang dimilikinya sendiri,” ujar Agoes.

Agoes menambahkan, dana abadi akan memberikan nafas panjang bagi seniman tanpa harus terus bergantung pada anggaran tahunan yang fluktuatif. “Ini adalah solusi permanen agar seni dan budaya Melayu, sebagai marwah Riau, tidak hanya menjadi tempelan dalam pembangunan, tetapi menjadi fondasi yang kokoh dan berkelanjutan,” tutup Agoes.

Terkait adanya penurunan produksi Migas Riau saat ini, menurut Agoes ini tekait soal teknis pengelolaan yang tidak efisien. Berbeda ketika saat dikelola oleh Chevron atau Caltex yang mampu menghitung semua variabel sehingga cost dapat ditekan dan profit selalu meningkat.

 

Tanggapan Tokoh

Tuntutan dari ASBR ini mendapatkan tanggapan dari berbagai kalangan akademisi dan Riau di antaranya Prof. Dr. Yusmar Yusuf, M. Phil, Prof. Dr. Eng. Ir. Muslim., ST., MT.,IPU., Asean Eng., dan Eri Bob selaku pegiat seni di Riau.

Guru Besar Sosiologi dan Fenomenolog dari FISIP Universitas Riau (UNRI), Prof. Dr. Yusmar Yusuf, M. Phil., memberikan pandangan yang komprehensif. Ia menyetujui ide dasar pembentukan dana abadi tersebut, namun juga mengingatkan akan tantangan di masa depan.

“Prinsipnya oke. Walau DNA tanah Bojonegoro Jatim lebih kaya dari Riau hari ini. Juga ada offshore Indramayu Jabar, offshore Kaltim dan Anambas-Natuna Kepri. Riau memang menurun saat ini oleh beberapa variabel lokalitas. Bagus juga perjuangan ini. Persoalan tatakelola ke depan yang harus diantisipasi oleh seniman dan budayawan,” kata Prof. Yusmar.

Komentar Prof. Yusmar tersebut menekankan bahwa tantangan utama pasca-pengesahan dana abadi adalah transparansi dan profesionalisme dalam pengelolaan dana tersebut agar tepat sasaran dan benar-benar menopang ekosistem seni budaya.

Guru Besar Teknik Perminyakan UIR, Prof. Dr. Eng. Ir. Muslim., ST., MT.,IPU., Asean Eng berujar senada. Ia mendorong gerakan ini baik secara moral maupun pemikiran, agar PI yang menjadi hak masyarakat Riau dapat tersalurkan karena sangat banyak multiflier effect yang akan diterima Riau, salah satunya dalam memajukan pendidikan daerah.

Sementara itu, Eri Bob selaku seniman pemangku negeri menyambut baik ide ini dan berharap agar segera dikonkretkan pelaksanaannya.

Tuntutan Aliansi Seniman dan Budayawan Riau

ASBR secara tegas menyuarakan tuntutan tersebut. Tuntutan ini muncul sebagai kritik terhadap minimnya prioritas anggaran untuk pengembangan seni dan budaya di tengah kekayaan sumber daya alam yang dihasilkan oleh “Bumi Lancang Kuning”.

Dalam pernyataan sikap yang dimuat oleh ASBR, mereka menyoroti adanya kecenderungan melupakan “DNA tanah” Riau yang sejatinya adalah seni dan budaya. Anggaran yang selama ini menjadi persoalan klasik dalam mendorong pertumbuhan seni dan budaya dinilai tidak sebanding dengan kekayaan yang dihasilkan Riau.

“Kita lupa bahwa DNA tanah ini adalah seni dan budaya, akibat kelupaan tersebut kita tidak memprioritaskan pengen-bangan seni dan budaya sebagai bagian dari tugas kita,” tulis ASBR dalam pernyataannya.

Mereka mempertanyakan mengapa para pemangku kebijakan begitu sulit membagi sedikit dari pundi-pundi uang yang berlimpah untuk dijadikan dana abadi. “Alasan klasik persoalan anggaran selalu menjadi dinding penghalang untuk pergerakan pertumbuhan seni dan budaya. Padahal, sumber pundi-pundi uang yang dihasilkan tanah ini tidak terhitung banyaknya. Apakah salahnya 1 persen dialokasikan untuk pengembangan seni dan budaya di Riau,” tegas Aliansi, seraya menekankan angka 10% dari PI sebagai nilai ideal.

PI 10% adalah hak Pemerintah Daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota) untuk memiliki saham partisipasi maksimal 10% dalam pengelolaan Wilayah Kerja (WK) migas yang ada di daerahnya. Nilai dari PI ini seringkali sangat besar dan menjadi pendapatan daerah yang signifikan. ASBR berpandangan, sudah saatnya keuntungan dari kekayaan alam ini dikembalikan untuk memperkuat identitas dan peradaban daerah melalui seni dan budaya. MK-r

Redaktur: Munawir Sani