Setya Novanto Digugat, Aktivis Nilai Bebas Bersyarat Tidak Sah

AQNziQDtOQDU8Rox-k6UfBYv0LODea0vfhy_aL6RsB1b3qVcER25wG-JElVJMc-i_vjnZjQODqKW81HNfeIMyvl7gniB3ksKn7eXeW8jaEvzhijG8UNNyZtSHcKEc-kQVZSfshaWoaWODJVow1vjvBEk23gY5Q

Ilustrasi Setya Novanto tertawa dari balik jeruji besi. (f: meta)

JAKARTA (marwahkepri.com) – Pembebasan bersyarat mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto, digugat oleh Aliansi Rakyat Untuk Keadilan Indonesia (ARRUKI) dan Lembaga Pengawasan dan Pengawalan Hukum Indonesia (LP3HI). Gugatan tersebut terdaftar di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta dengan nomor perkara 357/G/2025. Sidang perdana digelar pada Rabu (29/10/2025).

Kuasa hukum ARRUKI dan LP3HI, Boyamin Saiman, menyebut pihaknya kecewa atas keputusan pemerintah memberikan pembebasan bersyarat kepada Setya Novanto. Karena itu, pihaknya mengajukan gugatan pembatalan keputusan tersebut.

“Masyarakat yang diwakili oleh ARRUKI dan LP3HI kecewa atas bebas bersyaratnya Setnov sehingga mengajukan gugatan pembatalan keputusan bebas bersyaratnya,” ujar Boyamin.

Menurut Boyamin, pembebasan bersyarat seharusnya tidak dapat diberikan kepada narapidana yang masih tersangkut kasus hukum lain. Ia menilai Setya Novanto masih terlibat dalam penyelidikan perkara tindak pidana pencucian uang (TPPU) di Bareskrim Polri.

“Bebas bersyarat tidak bisa diberikan kepada napi yang masih tersangkut perkara lain. Setnov masih tersangkut perkara TPPU di Bareskrim,” tegasnya.

Boyamin berharap majelis hakim PTUN mengabulkan gugatannya. Jika gugatan tersebut diterima, Setya Novanto harus kembali ke lembaga pemasyarakatan untuk menjalani sisa masa hukumannya.

Setya Novanto sebelumnya dinyatakan bebas bersyarat dari Lapas Sukamiskin, Bandung, setelah menjalani hukuman atas kasus korupsi proyek e-KTP. Ia divonis 15 tahun penjara pada April 2018 dan sempat mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung pada 2020.

Mahkamah Agung baru memutus PK tersebut pada Juni 2025 dan mengabulkan permohonan Setya Novanto. Putusan itu kemudian menjadi dasar bagi Kementerian Hukum dan HAM untuk memberikan pembebasan bersyarat pada 16 Agustus 2025. MK-dtc

Redaktur : Munawir Sani