OPINI | Memaknai Pertumbuhan Ekonomi dan Pemerataan Kesejahteraan dalam Pembangunan Nasional

ss

Oleh Encik Ryan Pradana Fekri, ST.,M.PWK.

Di tengah berbagai klaim keberhasilan ekonomi nasional, pertanyaan mendasar masih tetap menggema: mengapa ketimpangan sosial masih terasa begitu lebar? Dalam narasi pembangunan Indonesia, pertumbuhan ekonomi kerap dijadikan tolok ukur utama keberhasilan. Namun, ketika angka-angka makroekonomi menunjukkan tren positif, apakah manfaatnya benar-benar dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat?

 

Pertumbuhan dan Makna Pembangunan

Pembangunan sering disederhanakan sebagai peningkatan Produk Domestik Bruto atau arus investasi. Padahal, hakikat pembangunan sejati terletak pada perbaikan kualitas hidup manusia secara menyeluruh. Sejalan dengan pemikiran ekonom peraih Nobel Amartya Sen, kemajuan bangsa semestinya diukur dari perluasan kapabilitas dan kebebasan warganya, bukan semata akumulasi kekayaan material.

Pemerintah menyadari pentingnya pertumbuhan ekonomi nasional yang impresif. Dalam siaran pers Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (22 Mei 2025), ditargetkan pertumbuhan ekonomi nasional mencapai 8% melalui optimalisasi berbagai sektor strategis. Ambisi ini patut diapresiasi, tetapi perlu diwaspadai agar tidak terjebak pada logika pertumbuhan semata. Pertanyaannya, apakah target pertumbuhan ekonomi ini juga akan sebanding dengan hasil pembangunan yang merata dan berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat?

 

APBN dan Tantangan Pemerataan

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan instrumen utama kebijakan fiskal untuk mencapai keadilan sosial. Melalui belanja dan pendapatan negara, pemerintah berupaya mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus memastikan distribusi hasil pembangunan yang merata. Namun, efektivitasnya masih perlu dipertanyakan.

Meskipun alokasi APBN terus meningkat rata-rata 6,83 persen per tahun dari Rp1.777,2 triliun pada 2014 menjadi Rp3.621,3 triliun pada 2025 (Kementerian Keuangan, 2025), dampaknya dalam mengurangi ketimpangan sosial-ekonomi masih belum bisa dikatakan sangat efektif. Koefisien Gini nasional pada Maret 2025 tercatat 0,375 dan angka kemiskinan 8,47 persen atau sekitar 23,85 juta orang (BPS, 2025). Angka-angka ini menunjukkan bahwa peningkatan belanja belum sepenuhnya berpihak pada kelompok rentan. Kenaikan nominal anggaran belum diiringi peningkatan kualitas kebijakan publik, terutama dalam penargetan program sosial dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Pemerintah memang telah memperluas berbagai skema perlindungan sosial, seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), hingga Program Indonesia Pintar. Namun, Laporan Public Expenditure Review for Indonesia (World Bank, 2020) menegaskan tantangan terbesar terletak pada akurasi penargetan dan integrasi program. Banyak anggaran sosial belum sepenuhnya sampai pada kelompok yang paling membutuhkan.

Ironisnya, kebijakan desentralisasi fiskal yang diharapkan mempercepat pemerataan justru sering berhenti pada rutinitas birokrasi. Sekitar 60 persen belanja daerah masih terserap untuk gaji dan operasional, bukan untuk kegiatan produktif (Kajian Fiskal Regional, Kementerian Keuangan 2024). Akibatnya, transfer dana besar dari pusat tidak selalu berujung pada layanan publik yang lebih baik atau pembukaan lapangan kerja baru.

Kondisi ini juga diperburuk oleh ketimpangan struktural antarwilayah. Data BPS 2024 mencatat bahwa 58,57 persen Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Nasional masih terkonsentrasi di Pulau Jawa. Sementara wilayah timur Indonesia dan daerah kepulauan masih menghadapi keterbatasan infrastruktur dasar, akses pendidikan dan kesehatan, serta rendahnya produktivitas tenaga kerja. Dengan demikian, peningkatan belanja nasional belum cukup untuk menutup jurang kesenjangan antarwilayah.

 

Akar Permasalahan: Kualitas Belanja dan Desain Kebijakan

Permasalahan utama bukan pada besaran jumlah anggaran yang digelontorkan pemerintah, melainkan pada kualitas belanja dan efektivitas implementasinya. Dalam hal ini, setidaknya terdapat dua persoalan mendasar yang perlu dicermati dan dipertimbangkan untuk memperbaiki kualitas belanja anggaran dalam kerangka pembangunan nasional yang lebih adil, agar dapat memberikan manfaat pemerataan kesejahteraan.

Pertama, fragmentasi program antar-kementerian dan lembaga yang menyebabkan tumpang-tindih kebijakan. Banyak program sosial memiliki sasaran serupa namun dijalankan secara terpisah, dengan mekanisme verifikasi dan basis data berbeda. Akibatnya, terjadi duplikasi penerima di satu sisi, sementara kelompok rentan lain justru tak tersentuh. Lemahnya koordinasi dan integrasi data penerima manfaat membuat potensi kebocoran dan inefisiensi anggaran tetap tinggi.

Kedua, kurangnya pendekatan berbasis hasil (outcome-based budgeting) yang belum sepenuhnya menjadi fokus dalam perencanaan anggaran. Penilaian kinerja fiskal masih cenderung berorientasi pada tingkat penyerapan, bukan pada capaian nyata bagi masyarakat. Padahal, setiap rupiah yang dibelanjakan seharusnya memiliki dampak sosial-ekonomi yang terukur: menurunkan kemiskinan, memperluas kesempatan kerja, dan meningkatkan kualitas layanan publik.

 

Menuju Reformasi Kualitas Belanja Publik

Agar APBN benar-benar menjadi instrumen pemerataan sosial-ekonomi, diperlukan pembenahan struktural yang menyentuh beberapa aspek mendasar dalam pengelolaan anggaran negara. Reformasi ini tidak cukup berhenti pada peningkatan alokasi dana, melainkan harus memastikan bahwa setiap rupiah yang dibelanjakan memberikan dampak nyata bagi masyarakat yang paling membutuhkan.

Langkah pertama yang perlu dibenahi adalah penargetan bantuan dan integrasi data sosial. Program perlindungan sosial akan lebih efektif bila sepenuhnya mengacu pada Data Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE) yang terus diperbarui. Dengan basis data yang akurat, penyaluran bantuan dapat diarahkan secara tepat kepada penerima yang berhak tanpa tumpang-tindih. Penerapan big data analytics dan digitalisasi layanan publik juga penting untuk mempercepat proses verifikasi serta memperkuat transparansi dan akuntabilitas distribusi bantuan.

Selain itu, peningkatan efisiensi serta akuntabilitas fiskal di daerah harus menjadi prioritas. Pemerintah daerah perlu lebih berorientasi pada hasil melalui penerapan sistem performance-based budgeting. Evaluasi transfer dana dari pusat semestinya berfokus pada hasil konkret seperti penurunan kemiskinan, peningkatan kualitas layanan dasar, serta penciptaan lapangan kerja, bukan hanya sekedar tingkat penyerapan anggaran saja.

Aspek lain yang juga mendesak adalah perombakan struktur belanja yang kurang produktif. Masih banyak pos anggaran yang dialokasikan untuk kegiatan administratif, seremonial, atau proyek dengan dampak ekonomi yang minim terhadap masyarakat luas. Pengalihan sebagian anggaran tersebut ke program yang lebih produktif seperti penguatan sektor industri UMKM, peningkatan keterampilan tenaga kerja, serta dukungan inovasi produk lokal daerah akan memberikan hasil yang lebih signifikan bagi pembangunan nasional.

 

Meneguhkan Arah Fiskal yang Berkeadilan

Pembangunan Indonesia jangan sampai terjebak dalam pemujaan terhadap angka pertumbuhan ekonomi semata. Seberapa pun tingginya capaian angka pertumbuhan yang berhasil dicapai, tidak akan bermakna jika hanya dinikmati oleh segelintir orang sementara sebagian besar masyarakat masih berjuang memenuhi kebutuhan dasarnya.

Pemerataan ekonomi tidak akan tercapai hanya dengan memperbesar alokasi anggaran, tetapi melalui perubahan paradigma kebijakan fiskal yang lebih menekankan kualitas belanja dan keadilan distribusi. APBN seharusnya tidak sekedar menjadi instrumen pertumbuhan ekonomi, melainkan juga alat untuk memperkecil jurang sosial antara kaya dan miskin, antara pusat dan daerah, serta antara mereka yang memiliki akses dan yang terpinggirkan.

Ukuran sejati keberhasilan pembangunan bukanlah seberapa cepat ekonomi tumbuh, melainkan seberapa banyak warga yang merasakan kesejahteraan dari hasil pertumbuhan itu sendiri.

 

Biografi Singkat Penulis

Encik Ryan Pradana Fekri, ST.,M.PWK. aktif sebagai Praktisi di bidang Perencanaan Wilayah dan Kota dan juga merupakan Pengajar di Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Institut Teknologi Nasional Bandung serta merupakan anggota Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Indonesia.