OPINI | Memutus Rantai Ketergantungan Fiskal Daerah

Penulis Encik Ryan Pradana Fekri, ST.,M.PWK.
Mentalitas pembangunan sebagian besar daerah di Indonesia masih terkungkung dalam narasi klasik “menunggu alokasi dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)”. Siklus ketergantungan ini tidak hanya membuat daerah rentan terhadap dinamika kebijakan fiskal nasional, tetapi juga mematikan inisiatif dan kreativitas daerah. Daerah harus bergeser dari mentalitas penerima bantuan menjadi pelaku ekonomi yang aktif dan agresif. Akselerasi pembangunan akan dapat terwujud jika pemerintah daerah berani dan cerdas memanfaatkan instrumen-instrumen keuangan modern yang kreatif dan inovatif.
Ketergantungan Fiskal vs Kemandirian
Fakta empiris berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri menunjukkan bahwa selama sepuluh tahun terakhir dalam rentang 2015-2025, rata-rata kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap total pendapatan daerah hanya berada pada kisaran 15% sampai dengan 20%, bahkan masih ada beberapa daerah yang realisasi PADnya berada di bawah 15%. Sebagian besar daerah masih sangat bergantung dengan transfer pusat hingga lebih dari 80%. Kondisi ini mencerminkan lemahnya kapasitas fiskal daerah dan minimnya upaya untuk mengeksplorasi sumber pendapatan alternatif. Ketika guncangan ekonomi terjadi, daerah-daerah dengan ketergantungan tinggi ini akan menjadi yang paling rentan mengalami kemunduran pembangunan.
Teori desentralisasi fiskal yang menjadi landasan otonomi daerah, justru menganjurkan adanya kemandirian dalam pengelolaan keuangan. Musgrave (1959) dan Oates (1972) dalam teorinya Fiscal Federalism menekankan bahwa daerah yang memahami kebutuhan warganya adalah yang paling efisien dalam menyediakan barang dan jasa publik, sehingga dapat memaksimalkan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah daerah harus berfungsi layaknya sebuah korporasi yang gesit, mencari sumber modal terbaik dan mengelolanya secara profesional untuk menciptakan nilai tambah bagi “pemegang sahamnya”, yaitu masyarakat.
Prinsip ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang memberikan kewenangan luas kepada daerah untuk mengelola sumber dayanya secara mandiri dan bertanggung jawab. Dalam konteks ini teori Oates tentang desentralisasi dapat menjadi landasan konseptual dalam praktik good corporate governance untuk sektor publik, di mana kebijakan fiskal daerah dapat diwujudkan melalui penganggaran berbasis kinerja dan inovasi pendapatan yang berorientasi pada hasil nyata bagi masyarakat.
Dilema Pembangunan Akibat Ketergantungan Fiskal
Implikasi konkret dari ketergantungan fiskal ini terlihat dalam pembiayaan infrastruktur. Ketika sebagian besar anggaran pembangunan bergantung pada transfer pusat, ruang fiskal untuk membiayai infrastruktur yang berkualitas dan berkelanjutan menjadi sangat sempit. Infrastruktur bukan lagi dilihat sebagai investasi jangka panjang yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, melainkan sebagai beban anggaran yang hanya dapat dibiayai ketika ada “anggaran turun”. Padahal, infrastruktur yang memadai adalah prasyarat untuk menarik investasi, meningkatkan daya saing, dan menciptakan ekosistem ekonomi yang produktif.
Besarnya tantangan pembiayaan infrastruktur ini terlihat dalam data Kementerian Pekerjaan Umum yang mencatat bahwa kebutuhan pembiayaan infrastruktur Indonesia selama periode 2025-2029 mencapai Rp.1.905,3 triliun. Pembiayaan dengan nilai besar tersebut mencakup sumber daya air, jalan dan jembatan, serta permukiman, sementara kapasitas APBN dalam pembiayaan sebesar 35,63% (Rp.678,91 triliun) sedangkan APBD sekitar 24,87% (Rp.473,28 triliun) dan target pendanaan kreatif untuk mengatasi kekurangan anggaran pemerintah, yakni Rp.753,11 triliun.
Celah pembiayaan inilah yang harusnya diisi dengan skema pembiayaan pembangunan kreatif. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah sebenarnya telah memberikan payung hukum yang kuat bagi daerah untuk melakukan terobosan pembiayaan, termasuk melalui skema blended finance yang melibatkan badan usaha, swasta, dan lembaga filantropi.
Memutus Siklus Ketergantungan dan Membangun Kemandirian Fiskal
Transformasi mentalitas dari konsumtif menuju produktif dalam pengelolaan keuangan daerah merupakan sebuah keharusan untuk dilakukan. Pemerintah daerah perlu mengadopsi pendekatan value for money dalam setiap pengeluaran, di mana setiap rupiah yang dibelanjakan harus memberikan dampak ekonomi terukur bagi masyarakat. Paradigma ini mensyaratkan profesionalisme aparatur dan transparansi pengelolaan keuangan.
Sistem penganggaran berbasis kinerja, sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah, harus diimplementasikan secara konsisten di mana alokasi anggaran dikaitkan secara langsung dengan capaian output dan outcome yang jelas. Selain itu, optimalisasi potensi ekonomi lokal melalui Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang dikelola secara profesional dan profit oriented dapat menjadi sumber PAD yang signifikan.
Potensi penguatan PAD juga dapat digali dari aset daerah yang belum optimal dikelola. Banyak daerah yang memiliki aset produktif seperti pasar, lahan, atau sumber daya alam yang belum dikelola dengan prinsip komersial yang sehat. Pengelolaan aset daerah yang profesional, sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, dapat meningkatkan pendapatan daerah tanpa membebani masyarakat dengan pajak yang tinggi.
Akselerasi pembangunan daerah bukan lagi semata-mata soal besaran dana yang dialokasikan dari pusat, melainkan tentang kecerdasan dan keberanian daerah dalam merancang strategi pembiayaan pembangunan yang inovatif. Masa depan pembangunan daerah terletak pada strategi pemerintah daerah dalam mengelola portofolio aset, pemberdayaan potensi sektor ekonomi unggulan daerah, serta membangun kemitraan dan menarik investasi untuk pembangunan daerah. Langkah strategis ini akan memutus siklus ketergantungan dan membangun fondasi ekonomi daerah yang lebih tangguh dan berdaya saing.
Biografi Singkat Penulis
Encik Ryan Pradana Fekri, ST.,M.PWK.__aktif sebagai Praktisi di bidang Perencanaan Wilayah dan Kota dan juga merupakan Pengajar di Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Institut Teknologi Nasional Bandung serta merupakan anggota Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Indonesia.