OPINI | Kesabaran Rakyat Indonesia: Dari Sarkasme Gus Dur hingga Amnesia Post-Kolonial

Oleh Novita Sari Yahya
GUS DUR dulu cerita soal mumi di Giza. Tentara asing pusing menebak usianya, sementara orang Indonesia enteng saja: “Tanya langsung.” Konyol? Ya jelas. Tapi ironisnya, itu pas banget dengan watak bangsa kita: kalau masalah pelik, solusinya bukan aksi, tapi guyonan.
Kita bangga dengan 1.340 suku bangsa, ratusan bahasa, ribuan tradisi. Tapi apa hasilnya? Elite politik sibuk pesta, rakyat kecil tetap antre gas melon. Ajaibnya, semua tetap rukun. Saking sabarnya, kadang saya curiga jangan-jangan rakyat Indonesia ini bukan sabar, tapi sudah kebal rasa—semacam kebal politik, kebal harga, kebal akal sehat.
Bandingkan dengan Prancis. Tahun 2023, Macron naikin usia pensiun dua tahun saja, rakyat ngamuk. Mobil dibakar, polisi dihajar, ribuan ditahan. Di sini? Harga beras naik, subsidi gas dicabut, listrik mahal—reaksi rakyat cuma sebatas “Bapak, jangan hina kemiskinan kami.” Setelah itu ya balik lagi: nongkrong di warung kopi, bikin konten TikTok, atau mantengin istri pejabat yang pamer tas Hermes di Instagram.
Kalau ada Olimpiade Kesabaran Dunia, Indonesia sudah pasti juara. Indeks Kerukunan Umat Beragama naik dari 73,09 (2022) ke 76,02 (2023). Hebat kan? Padahal tiap hari diperas kebijakan absurd. Tapi respon rakyat? Paling bikin meme. Sementara di Nepal, Menteri Keuangan mereka sampai dipukul massa dan gedung parlemen dibakar. Di Indonesia? Pejabat korup cukup bikin klarifikasi, minta maaf dengan senyum manis, lalu… tetap aman.
Lucunya, kita suka klaim sebagai bangsa berbudaya luhur. Zaman tanam paksa, Multatuli bikin Belanda malu lewat Max Havelaar. Sekarang, pejabat cuma malu kalau trending di Twitter. Bukan karena hati nurani, tapi takut dipanggil DPR. Reformasi moral bangsa? Jangan mimpi. Yang ada reformasi meme.
Sjahrir dulu sudah bilang: feodalisme melahirkan fasisme pribumi. Elite seenaknya, rakyatnya manut. Dan ternyata masih relevan sampai hari ini. Bedanya, dulu “inlander” tunduk pada kolonial, sekarang tunduk pada “lord” politik dan buzzer. Bedanya tipis.
Kadang saya ingin debat dengan kakek buyut saya, Jahja Datoek Kajo, yang bicara lantang soal “Indonesia terhormat.” Atau dengan kakek saya, Dr. Sagaf Yahya, yang bermimpi mencetak manusia Indonesia terdidik. Faktanya, bangsa ini makin lihai jadi bangsa pelupa: lupa janji, lupa visi, lupa harga diri. Asal masih bisa selfie sambil bilang “NKRI harga mati,” semua beres.
Mochtar Lubis bahkan sudah kasih spoiler: bangsa ini munafik, malas tanggung jawab, suka pamer kesopanan. Sopan tapi maling, senyum tapi licik. Dan kita, rakyat, tetap sabar—bahkan terlalu sabar.
Akhirnya, saya cuma bisa ikut gaya Gus Dur: “Gitu aja kok repot.” Ya sudah, biarlah kita hadapi absurditas dengan tawa getir. Karena kalau nunggu elite sadar diri, mungkin yang jadi mumi bukan di Giza, tapi kita semua—rakyat yang dikubur pelan-pelan oleh kesabaran.
Novita Sari Yahya__Penulis yang suka mengamati kelakuan manusia Indonesia dan menuliskan di cerpen, puisi dan opini.
Quotes ” aku mencintai Indonesia dengan semua kerandoman manusianya “.