OPINI | Refleksi 23 Tahun Provinsi Kepulauan Riau: Antara Cita dan Realita

Dokumentasi Tugu Provinsi Kepulauan Riau. (F: dok)
Penulis Encik Ryan Pradana Fekri, ST.,M.PWK.
SUDAH 23 tahun Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) resmi dibentuk sejak 24 September 2002. Sebuah fase yang dianggap cukup bagi sebuah daerah otonom untuk meneguhkan identitas dan mewujudkan janji kemakmuran yang menjadi landasan pemekarannya. Amanat yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2002 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau, menitikberatkan pada percepatan pembangunan, peningkatan pelayanan publik, serta pengelolaan potensi daerah.
Capaian pembangunan Provinsi Kepri dalam dua dekade terakhir memang menunjukkan tren positif. Laporan Kementerian Dalam Negeri mencatat, rata-rata pertumbuhan ekonomi Kepri konsisten di atas rata-rata nasional dalam beberapa tahun terakhir. Pembangunan berbagai infrastruktur yang telah dilakukan serta pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Batam dan Bintan, menjadi pencapaian nyata dan semangat penggerak ekonomi Kepri.
Namun, analisis Bank Indonesia dalam Laporan Perekonomian Provinsi Kepri mengindikasikan bahwa dampak multiplier dari pembangunan tersebut masih terbatas secara geografis, di mana pertumbuhan masih terkonsentrasi di pusat-pusat ekonomi utama. Konektivitas antarpulau dan ketersediaan infrastruktur dasar di wilayah kepulauan Provinsi Kepri masih menjadi tantangan besar, mengisyaratkan bahwa kemajuan infrastruktur belum sepenuhnya transformatif dan merata.
Dominasi Ekonomi di Segelintir Wilayah
Data statistik makroekonomi Provinsi Kepri sering kali memberikan semangat yang optimis, akan tetapi di balik angka pertumbuhan ekonomi yang tercatat 7,14 persen (y-on-y) pada triwulan II-2025, terdapat ketimpangan struktural yang dalam. BPS Provinsi Kepri pada triwulan II-2025 menunjukkan dominasi Kota Batam, yang menyumbang 66,23 persen terhadap PDRB, diikuti Kabupaten Bintan (8,54 persen) dan Kota Tanjungpinang (7,05 persen). Sementara itu, peran empat kabupaten lainnya Natuna (6,29 persen), Kepulauan Anambas (5,18 persen), Karimun (5,15 persen), dan Lingga (1,56 persen) jika digabungkan masih kalah dari kontribusi Batam. Data tersebut memperlihatkan bahwa kegiatan ekonomi terkonsentrasi hanya di tiga wilayah inti, sementara lebih dari separuh wilayah provinsi hanya menjadi pelengkap.
Fenomena ini mengingatkan pada teori pertumbuhan tidak seimbang (unbalanced growth) Gunnar Myrdal, di mana backwash effect (efek balik) yakni penarikan sumber daya seperti modal, investasi, dan SDM unggul ke pusat pertumbuhan jauh lebih kuat daripada spread effect (efek sebar) ke daerah sekitarnya. Selama lebih dari dua dekade, Batam, Bintan, dan Tanjungpinang berkembang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi yang menyerap sebagian besar sumber daya pembangunan, meninggalkan kabupaten lain dalam arus utama pembangunan di Provinsi Kepri.
Kesenjangan Kualitas Hidup yang Menganga
Ketimpangan tidak hanya berhenti pada besaran angka kontribusi terhadap PDRB provinsi. Termanifestasi pula dalam kualitas hidup masyarakat, yang dapat dilihat dari data Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Pada 2024, IPM Kota Batam mencapai 83,32 dan Kota Tanjungpinang 81,58. Sebaliknya, IPM Kabupaten Kepulauan Anambas berada di angka 73,47 dan Kabupaten Lingga 73,05. Selisih hampir 10 poin ini merepresentasikan perbedaan yang signifikan dalam sektor kesehatan dan pendidikan.
Pada sektor kesehatan, fasilitas rumah sakit lengkap dengan tenaga medis spesialis hampir seluruhnya terkonsentrasi di Batam dan Tanjungpinang. Bagi masyarakat di kabupaten kepulauan seperti Anambas, Lingga, atau Natuna, mengakses layanan kesehatan dengan kualitas memadai berarti harus menempuh perjalanan laut yang panjang, biaya mahal, dan bergantung pula pada cuaca.
Dalam bidang pendidikan, kesenjangan kualitas sekolah dan akses terhadap pendidikan tinggi yang bermutu masih menjadi privilege bagi mereka yang tinggal di wilayah inti. Anak-anak di daerah lain harus berjuang lebih keras dengan fasilitas terbatas sehingga berpotensi memperparah kondisi ketimpangan.
Infrastruktur Laut dan Udara yang Jadi Nadinya, tapi Masih Sekarat
Sebagai provinsi kepulauan, transportasi laut adalah nadi kehidupan bagi masyarakat. Sayangnya, infrastruktur penghubung antarpulau ini justru menjadi titik lemah paling krusial yang memperdalam ketimpangan. Pelabuhan-pelabuhan di kabupaten seperti Lingga, Natuna, serta Kepulauan Anambas masih banyak beroperasi dengan fasilitas terbatas, kedalaman kolam pelabuhan yang tidak memadai untuk kapal besar, dan frekuensi pelayaran belum sepenuhnya teratur.
Keterbatasan yang sama juga terjadi pada sektor transportasi udara. Bandar udara di kabupaten terluar seperti Natuna, Kepulauan Anambas, dan Lingga, menghadapi kendala operasional dengan kapasitas landas pacu yang kecil, fasilitas terminal kurang memadai, dan frekuensi penerbangan komersial yang terbatas membuat tiket pesawat menjadi sangat tinggi. Transportasi udara yang seharusnya menjadi solusi cepat untuk mengatasi keterisolasian justru menjadi sesuatu yang sulit dijangkau.
Konektivitas yang terbatas ini berdampak langsung pada mahalnya harga barang kebutuhan pokok di beberapa kabupaten, menghambat pariwisata, dan mempersulit mobilitas penduduk. Sebuah kenyataan ironis bagi provinsi dengan 96 persen wilayahnya adalah perairan, di mana implementasi kebijakan penguatan pada sektor transportasi laut dan udara masih belum maksimal.
Komitmen Anggaran dan Problem Desentralisasi
Kemudian bagaimana dengan komitmen anggaran daerah? Apakah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Kepri telah menjadi instrumen pemerataan yang efektif? Apabila melihat Rancangan APBD Perubahan (RAPBD-P) Provinsi Kepri Tahun 2025, anggaran untuk belanja daerah mencapai Rp. 3,933 triliun.
Meski terdapat alokasi untuk pembangunan di masing-masing kabupaten/kota, proporsinya tidak sebanding dengan luas wilayah dan tingkat kebutuhan. Pembangunan infrastruktur strategis, seperti jalan, jembatan, pelabuhan, dan bandara masih sangat bergantung pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Lantas muncul masalah mendasar, kebijakan pusat yang cenderung seragam (one size fits all) kerap tidak sensitif terhadap karakteristik khusus daerah kepulauan. Akibatnya, meski dana dialirkan, pemerintah daerah di kabupaten kepulauan tetap terjebak dalam dilema antara membangun dengan anggaran terbatas yang hasilnya tidak optimal, atau tidak membangun sama sekali.
Regulasi Ada, Implementasi Tersendat
Pemerintah Daerah Provinsi Kepri sebenarnya telah memiliki sejumlah peraturan yang dirancang untuk menjawab tantangan pembangunan wilayah. Peraturan Daerah Provinsi Kepulauan Riau Nomor 3 Tahun 2021 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2021-2026, menekankan pada penguatan konektivitas dan pengembangan ekonomi lokal. Namun, dokumen dengan perencanaan yang bagus di atas kertas itu harus berhadapan dengan realitas implementasi yang tersendat. Kendala seperti kapasitas kelembagaan di daerah, koordinasi antarinstansi, dan faktor geografis yang sulit menjadi penghalang serius dalam merealisasikan rencana-rencana tersebut.
Menuju Kepri yang Inklusif
Dua dekade sudah berlalu dalam momentum usia yang ke-23 ini seharusnya menjadi titik tolak untuk melakukan koreksi fundamental. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak lagi bisa menjadi satu-satunya ukuran kesuksesan. Keadilan sosial dan pemerataan pembangunan harus diletakkan sebagai komitmen utama.
Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau perlu merancang strategi pembangunan yang lebih inklusif, merata secara kewilayahan, dan adil. Melalui beberapa pendekatan:
- Memperkuat konektivitas maritim dan udara dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas infrastruktur pelabuhan serta bandara, menambah rute pelayaran reguler dan penerbangan perintis yang mengakases pulau-pulau terpencil dengan pelayanan armada yang optimal dan tarif yang terjangkau.
- Mendorong pengembangan ekonomi lokal yang berbasis potensi unggulan masing-masing daerah, seperti perikanan, kelapa, dan pariwisata bahari, dengan dukungan permodalan dan akses pemasaran.
- Prioritasi alokasi anggaran yang proporsional dalam APBD untuk daerah-daerah yang secara perkembangan ekonomi dan ketersediaan infrastruktur masih “tertinggal”, dengan program yang tepat sasaran dan terukur.
- Memperkuat perencanaan berbasis data yang akurat untuk memastikan kebijakan dan implementasi yang dilakukan tepat sasaran dalam mengatasi masalah ketimpangan wilayah.
- Memperkuat koordinasi dengan pemerintah pusat untuk merumuskan kebijakan fiskal dan infrastruktur yang lebih adil bagi daerah kepulauan.
Langkah strategis ke depan adalah memprioritaskan kebijakan yang secara khusus ditujukan untuk menangani masalah ketimpangan antarwilayah di daerah kepulauan. Upaya ini memerlukan pendekatan terpadu dan kolaborasi yang lebih erat antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota untuk memastikan bahwa manfaat pembangunan dapat dirasakan secara lebih merata oleh seluruh masyarakat Provinsi Kepulauan Riau. Agar semangat pembentukan Provinsi Kepulauan Riau yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2002 tidak hanya menjadi catatan sejarah, tetapi benar-benar hidup dalam denyut nadi pembangunan yang inklusif dan berkeadilan.
Biografi Singkat Penulis
Encik Ryan Pradana Fekri, ST.,M.PWK.__aktif sebagai Praktisi di bidang Perencanaan Wilayah dan Kota dan juga merupakan Pengajar di Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Institut Teknologi Nasional Bandung serta merupakan anggota Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Indonesia.