Dugaan Penyalahgunaan Kewenangan, Pembayaran Hutang Belanja Modal DPRD Natuna Tak Sesuai Aturan

Kabag Umum Setwan Natuna Heru Chandra (kiri) dan Inspektur Pembantu IV, Ulfitra. (Foto: nang)
NATUNA (marwahkepri.com) – Pembayaran hutang belanja modal barang dan jasa di Sekretariat DPRD Natuna diduga tidak mengacu pada rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Kepri. Seharusnya, pembayaran dilakukan berdasarkan surat pesanan (SP) yang telah diterbitkan. Namun, praktik di lapangan menunjukkan, pembayaran justru dilakukan dengan sistem cicilan langsung ke rekening penyedia, tanpa mengacu pada SP.
Bupati Natuna, Cen Sui Lan, disebut memerintahkan Kabag Umum Setwan, Heru Chandra, untuk mencicil pembayaran hutang belanja barang dan jasa. Hal itu diakui langsung oleh Heru saat dikonfirmasi, Senin (25/8/2025). Ia mengaku sempat berkoordinasi dengan Kepala BPKPD Natuna, Suryanto, terkait mekanismenya.
Namun, Suryanto membantah. Saat ditemui, Selasa (26/8/2025), ia menegaskan pembayaran hutang belanja modal barang dan jasa harus sesuai dengan SP.
“Masak kita beli mobil Rp 900 juta, kemudian dicicil Rp 300 juta. Manalah boleh,” tegasnya.
Senada, Kepala Bidang Pelaporan dan Keuangan BPKPD, Ardinuikhsan, juga menekankan bahwa pembayaran harus berpedoman pada SP. Meski begitu, ia mengaku sempat dimintai solusi oleh pihak Setwan agar hutang bisa dibayarkan dengan cara dicicil.
Dugaan penyalahgunaan kewenangan makin kuat setelah Inspektorat Daerah Natuna ikut menanggapi. Inspektur Pembantu IV, Ulfitra, menegaskan bahwa mekanisme pembayaran harus mengacu pada SP yang telah diakui BPK.
“Kalau sudah ada berita acara serah terima dan pengakuan hutang, tidak perlu SP baru. Tinggal dibayarkan saja,” ujarnya.
Ulfitra menambahkan, jika SP mencantumkan klausul pembayaran bertahap, maka cicilan bisa dilakukan sesuai ketentuan. Tetapi, jika tidak ada, maka hutang wajib dibayarkan sekaligus.
“Kalau ada SP baru untuk hutang lama, itu yang jadi masalah, karena hutang sudah masuk dalam RUP tahun sebelumnya,” jelasnya.
Persoalan ini berpotensi melanggar ketentuan perundang-undangan, antara lain UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Pasal 21 ayat (4) yang menyebutkan setiap kewajiban pemerintah harus dibayar sesuai perikatan sah, PP Nomor 12 Tahun 2019, Pasal 19 yang mewajibkan pemerintah daerah menyelesaikan hutang sesuai hasil audit BPK dan UU Nomor 1 Tahun 2004, Pasal 3 yang mengatur keuangan negara harus dikelola secara tertib, taat aturan, serta Pasal 21 yang mengatur kewajiban membayar hutang sesuai perikatan.
Kasus ini kini menjadi sorotan karena dinilai tidak hanya menabrak aturan administrasi keuangan, tetapi juga berpotensi menimbulkan konsekuensi hukum. MK-nang
Redaktur: Munawir Sani