OPINI | Jangan Overthinking, Noel Ebenezer Bukan Pencuri Uang Negara!

Ilustrasi (F: okezone.com)
Drama OTT KPK, Stigma Setara, dan Simplikasi Moral yang Diusung Media
Oleh Muhammad Natsir Tahar
OPERASI Tangkap Tangan (OTT) selalu disambut meriah: kamera siap, headline meluncur, publik bersorak. Tetapi mari kita jujur: apa yang sesungguhnya diselamatkan dari drama ini? Apakah keuangan negara benar-benar terlindungi? Atau kita sekadar menonton episode lama yang diputar ulang dengan aktor baru? Komentar netizen pun senada, Noel dijadikan satu kandang dengan bos BUMN yang sudah merampok seribu triliun.
Kasus Immanuel Ebenezer alias Noel yang melakukan pemerasan brutal itu memang salah, tak ada pembelaan di sini. Namun, menyamakan tindakannya dengan perampokan uang negara dalam skala masif hingga triliunan adalah kesesatan yang terus-menerus dipelihara media dan publik. Stigma setara inilah yang berbahaya: membuat kita tak mampu membedakan antara pelaku yang mencari celah di luar keuangan negara dengan jutaan pencuri uang rakyat hingga ke tingkat arsitek besar korupsi nasional.
“Kebenaran tidak pernah muncul begitu saja; ia selalu harus direbut dari persepsi yang menyesatkan,” kata Michel Foucault.
Selain tidak menguntungkan rakyat secara esensial, tertangkapnya Noel justru membuat senyum kawanan koruptor makin lebar: ia pendukung kuat wacana hukuman mati bagi koruptor. OTT menjelma jadi teater populer: ada tumpukan barang bukti, ada borgol, ada wajah tertunduk dengan rompi oranye. Simbol yang gampang dipahami, dramatis, dan laku dijual. Media menyiarkannya habis-habisan, publik pun merasa telah melihat keadilan bekerja.
Padahal, substansi sesungguhnya justru luput. Triliunan rupiah lenyap lewat proyek fiktif, mark-up anggaran, dan manipulasi sistematis. Itu bukan sekadar “uang kopi” atau pemerasan recehan, tapi perampokan besar-besaran terhadap kekayaan negara. Namun para dalang itu tak tersentuh. Sorotan publik terlalu sibuk mengejar drama pinggiran, bukan substansi besar yang merobek ekonomi bangsa.
Media massa memelihara simplifikasi moral. Setiap pelaku OTT dicitrakan sebagai koruptor kelas berat. Publik pun menghakimi dengan serentak, merasa puas melampiaskan amarah pada “penjahat yang tertangkap tangan.”
Tapi di sinilah letak sesat pikir itu: stigma yang setara antara penerima suap, pemeras, gratifikasi, dengan para perampok berdasi yang menyusun skema korupsi raksasa. Hasilnya? Publik terjebak dalam euforia kecil, sementara kejahatan besar melenggang bebas di belakang tirai. Seperti diucapkan Guy Debord dalam The Society of the Spectacle, masyarakat lebih percaya pada tampilan gambar daripada kenyataan yang tersembunyi di baliknya.
Sekali lagi, kasus pemerasan oleh Noel dkk. memang buruk. Namun menyamakan stigma dan umpatan dengan pencurian uang negara triliunan jelas menyesatkan. Ia setahap ini hanya pion kecil di halaman belakang panggung besar korupsi nasional. Tetapi media, dengan sensasinya, menggiring publik untuk melihat seolah kasus seperti ini adalah inti dari pemberantasan korupsi.
Inilah ironi kita: publik sibuk menonton drama OTT, tetapi gagal menagih pertanggungjawaban pada mereka yang benar-benar menjarah uang rakyat.
OTT penting, tapi jangan dipuja. Ia hanyalah pintu masuk, bukan ujung perjuangan. Jika kita terus menyamakan gratifikasi, suap, atau pemerasan dengan perampokan negara, maka kita telah salah arah. Kita sedang menonton teater, bukan menyaksikan keadilan bekerja.
Yang harus kita tagih dari negara dan medianya adalah substansi: penyelamatan uang negara dari korupsi masif, bukan sekadar tontonan OTT yang membius publik. Tanpa itu, pemberantasan korupsi akan terus jadi serial drama: ramai, menghibur, tapi tidak pernah menyentuh akar masalah. ~