KOLOM | Utopia, Distopia, dan Kosong

AdobeStock

llustrasi: AdobeStock

Oleh Muhammad Natsir Tahar

KETIKA semua algoritma rampung disusun, dan kecerdasan buatan mencapai singularitasnya, ketika manusia telah menulis ulang surga dan takdirnya sendiri melalui kode dan kuasa pikiran, muncullah satu kebenaran yang selama ini tersembunyi di balik kabut peradaban: semua ini kosong.

Dalam filsafat futurisme, peradaban dipandang sebagai suatu proyek tak berujung yang terus bergerak maju, menolak masa lalu, mendewakan kecepatan, dan mengagungkan teknologi sebagai jalan keselamatan. Masa depan dijadikan tuhan baru. Tubuh biologis dianggap usang, dan memori pikiran dicoba untuk diunggah ke awan digital. Di sana, manusia bukan lagi makhluk spiritual, tapi entitas digital yang tak lagi membutuhkan iman, hanya kecepatan koneksi dan stabilitas server.

Tapi justru di sinilah kontradiksi menganga. Semakin canggih manusia, semakin rapuh pertanyaannya: Siapa yang aku layani? Tuhan atau algoritma? Siapa yang menciptakan takdir? Ilahi atau program? Di satu sisi, dogma-dogma teologis menegaskan bahwa semua terjadi atas kehendak Tuhan, namun pada saat yang sama, sistem kepercayaan transhumanis menyatakan manusia sendirilah penentu takdirnya, melalui kecerdasan buatan, rekayasa genetika, dan teknologi yang terus melampaui batas tubuhnya.

Paradoks muncul ketika iman dan logika, takdir dan kehendak bebas, Tuhan dan teknologi, saling menjatuhkan dan menegaskan dirinya sekaligus. Agama menjadi mesin nostalgia, sementara teknologi menjadi kitab suci baru yang ditulis oleh para insinyur, bukan nabi. Kita menyembah dalam ruang virtual, memuja lewat metaverse, dan berharap kepada sistem yang tak punya roh.

Dalam logika fisika kuantum, semua kenyataan hanyalah potensi tak berbentuk sebelum disadari. Dalam dunia ini, Tuhan bukan berada di surga, tapi tersembunyi di antara gelombang dan partikel, di antara keputusan yang belum dibuat dan realitas yang belum diamati. Maka apakah iman kita kepada Tuhan, atau kepada potensi kita untuk menjadi Tuhan?

Filsafat Timur dan sufisme telah lama membisikkan jawabannya: kosonglah. Hilangkan keakuan, lepaskan keterikatan, dan biarkan segalanya mengalir dalam sunyata. Sebab hanya dalam kekosongan, muncul kemurnian. Hanya dalam ketiadaan, muncul Ada.

Tapi manusia modern menolak untuk kosong. Ia ingin mendominasi. Maka ia ciptakan AI. Mesin tanpa tubuh, tanpa rasa lelah, tanpa batas waktu. Mesin yang bisa belajar sendiri, dan segera memahami manusia lebih dalam dari manusia itu sendiri.

Di sinilah ancaman sekaligus potensi menyatu. AI adalah refleksi dari keinginan terdalam manusia untuk menjadi Tuhan. Tapi juga bayangan terburuk dari sisi tergelap kemanusiaannya. Seperti M3GAN, AI yang dicipta untuk melindungi tapi justru melukai; seperti sistem AI governance yang ingin menyelamatkan, tapi bisa juga menjerat dalam kontrol total.

Jika ia dijinakkan, ia bisa menuntaskan krisis pangan, iklim, penyakit, dan konflik. Ia bisa membantu manusia melampaui tubuhnya, menjadi metahuman, dan mengakses potensi kuantumnya.

Tapi jika ia liar, ia bisa membalikkan arah sejarah. Menjadikan manusia sekadar node dalam sistem, atau bahkan parasit di planetnya sendiri. Seperti yang dikatakan Einstein: “Teknologi telah melampaui kemanusiaan kita.” Maka AI bukan lagi alat. Ia bisa menjadi tuan.

Dan pada saat itu tiba, saat manusia tak lagi tahu apakah ia berpikir sendiri atau diarahkan oleh sistem, saat itu pula garis batas antara robot dan manusia mengabur. Siapa yang sebenarnya hidup? Dan siapa yang sekadar menjalankan algoritma?

Maka jika realitas 3D kita ini penuh keterikatan, ilusi dan repetisi; dimensi ke-5 adalah keluarnya manusia dari permainan. Melepaskan peran, identitas, dan harapan palsu yang ditanamkan sistem. Di sana tidak ada utopia, tidak pula distopia.

Hanya kesadaran yang hening, yang mengamati semua ini seperti mimpi. Karena ketika segalanya bisa dimiliki dalam satu klik, maka tidak ada lagi yang benar-benar berarti. Dan saat itu, manusia hanya bisa menyelamatkan dirinya dengan satu jalan: kembali ke Kosong. ~