Di Balik Senyum Mahasiswa, Psikolog UGM Ungkap Bahaya Duck Syndrome

Ilustrasi Duck Syndrome. (Foto: Getty Images/champpixs)
YOGYAKARTA(marwahkepri.com) – Fenomena duck syndrome semakin sering ditemukan di kalangan mahasiswa, termasuk di Indonesia. Istilah ini menggambarkan seseorang yang tampak tenang di permukaan, namun sebenarnya sedang berjuang keras di balik layar agar tidak “tenggelam” dalam tekanan.
Anisa Yuliandri, psikolog dari Career and Student Development Unit (CSDU) FEB UGM, menjelaskan bahwa istilah duck syndrome pertama kali digunakan untuk mahasiswa Stanford University. Fenomena tersebut kini meluas hingga berbagai kampus lain, termasuk di Indonesia.
“Banyak mahasiswa merasa harus mengambil semua kesempatan karena takut tertinggal. Takut kalau tidak ikut ini-itu nanti dibilang malas, tidak kompetitif, tidak punya masa depan,” kata Anisa, dikutip dari laman UGM, Kamis (14/8/2025).
Mahasiswa kerap menekan emosi karena faktor budaya untuk selalu terlihat baik-baik saja. Hal ini diperparah dengan ekspektasi tinggi, baik dari diri sendiri maupun lingkungan, mulai dari menjaga IPK, aktif berorganisasi, magang, ikut lomba, hingga menjaga citra di media sosial.
Menurut Anisa, kondisi ini selaras dengan Self-Determination Theory yang menekankan tiga kebutuhan psikologis dasar manusia: rasa kendali (autonomy), rasa mampu (competence), dan rasa terhubung (relatedness). Ketika pilihan hidup lebih banyak dipengaruhi tekanan eksternal, keseimbangan psikologis individu pun terganggu.
Media sosial juga memperkuat tekanan ini. Ketika beranda dipenuhi dengan pencapaian orang lain, banyak mahasiswa merasa tertinggal dan berusaha tampil sempurna meski sebenarnya lelah.
“Padahal kita ini manusia biasa, punya batas. Tapi karena ingin mempertahankan citra sempurna, akhirnya semua dipendam sendiri,” jelasnya.
Jika dibiarkan, duck syndrome dapat berkembang menjadi gangguan serius seperti kecemasan kronis, insomnia, burnout, hingga depresi. Karena itu, Anisa mendorong mahasiswa untuk mulai mengenali gejalanya dan mengambil langkah kecil untuk mengatasinya.
“Sikap jujur pada diri sendiri adalah bentuk keberanian. It’s okay to not be okay. Kita tidak harus selalu produktif atau terlihat bahagia,” ujarnya.
Ia juga menekankan pentingnya mengelola ekspektasi serta berani berkata tidak tanpa rasa bersalah. “Belajar mengatakan tidak adalah keterampilan penting,” tambahnya. MK-dtc
Redaktur : Munawir Sani