Gema Tari Mendu Kembali Mengaung Berkat Lokakarya BPK Wilayah IV

Satria, siswa SMAN 1 Bunguran Timur mengaku terharu mengikuti Lokakarya BPK Wilayah IV. (Foto: nang)
NATUNA (marwahkepri.com) — Di luar, hujan deras mengguyur atap seng Museum Sriserindit, angin laut menghempas jendela, membawa aroma asin khas pesisir. Namun di dalam museum, denting gong, tabuhan gendang, dan nyanyian ritmis justru menggema, menghidupkan kembali denyut tradisi yang nyaris terlupakan yakni Tari Mendu.
Selama tiga hari, puluhan siswa SMA dari berbagai penjuru Natuna berkumpul dalam lokakarya seni tradisi, bertekad menghidupkan kembali warisan budaya yang sempat meredup di antara hiruk-pikuk zaman. Bersama para maestro seni, mereka tak hanya mempelajari gerakan tari, tapi juga makna, jiwa, dan narasi yang melekat di setiap langkah dan irama.
Di antara mereka, tampak Dinda, guru seni dari SMA Negeri 1 Ranai, yang tak henti memberi arahan dan semangat kepada anak didiknya.
“Tiga hari ini luar biasa. Kami belajar langsung dari sumbernya. Mereka tidak hanya mengajarkan teknik, tapi juga filosofi dan nilai dari Mendu itu sendiri,” ujarnya kepada wartawan dengan mata berbinar, Selasa (12/8/2025).
Tari Mendu adalah seni pertunjukan khas Natuna yang memadukan tari, musik, dan teater. Namun, bahasa dan narasi yang digunakan para maestro—yang sebagian besar generasi tua—sempat menjadi tantangan tersendiri bagi peserta muda. Dinda dan tim pun membagi siswa ke dalam tiga kelompok: pemusik, penari, dan aktor. Perlahan, keraguan berubah menjadi rasa percaya diri.
Salah satunya dirasakan oleh Satria, siswa SMAN 1 Bunguran Timur. Dengan kaus basah keringat dan senyum lebar, ia mengaku baru mengenal Mendu dari lokakarya ini.
“Awalnya asing banget. Tapi makin lama malah seru. Rasanya kayak nemu bagian dari diri sendiri yang hilang,” katanya sambil tertawa kecil.
Baginya, ini bukan sekadar pelajaran seni, melainkan perjalanan pulang—menemukan identitas, mengenali akar.
Puncak dari proses ini akan digelar esok hari. Sekitar 60 peserta akan menyeberang ke Kecamatan Pulau Tiga. Di sana, di panggung terbuka dengan laut sebagai latar, mereka akan membawakan pertunjukan Mendu lengkap, di hadapan warga yang mungkin untuk pertama kalinya melihat generasi muda tampil sebagai pewaris sah budaya ini.
Di balik gemuruh alat musik dan gemerlap kostum, ada harapan yang tumbuh: bahwa Tari Mendu tak hanya bertahan, tapi bangkit dan bertumbuh bersama generasi baru.
Lokakarya ini mungkin berakhir hari ini, tapi bagi Dinda dan Satria, ini baru permulaan. Mereka sadar, budaya yang tak diwariskan akan lenyap—bukan karena dilupakan, tapi karena tak pernah lagi diceritakan.
Di Museum Sriserindit, hujan masih turun. Tapi di dalamnya, Mendu telah kembali bernyawa. Dan kini, tugas generasi muda menjaga apinya tetap menyala. MK-nang
Redaktur: Munawir Sani