Special Screening di ITEBA: Sineas Batam Angkat Isu Pendidikan dan Perdagangan Orang

PXL_20250808_100759854

Kepala Dinas Pariwisata Batam, Ardi Winata saat memberikan kata sambutan dalam acara Screening dan Diskusi Film di Institut Teknologi Batam, Jumat (8/8/2025) (f: mun)

BATAM (marwahkepri.com) – Suasana Institut Teknologi Batam (ITEBA) pada Jumat (8/8/2025) sore terasa berbeda dari biasanya. Auditotium kampus dipenuhi antusiasme para penonton yang hadir dalam acara Special Screening & Diskusi Film, sebuah ajang apresiasi karya sineas muda Batam yang berhasil mengangkat isu-isu sosial penting lewat film.

Acara ini menayangkan tiga film lokal: Suara dari Pesisir karya Amara, mahasiswa ITEBA, Bodet karya Sarman Galang, serta Tepian Mimpi, film hasil kolaborasi Zettamind Studio dan Nifikiwa, yang disutradarai oleh Pajri Andika. Ketiga film ini masing-masing membawa pesan kuat tentang pendidikan, realitas sosial, dan permasalahan migrasi di Kepulauan Riau.

Apresiasi dari Pejabat Daerah dan Nasional

Acara ini turut dihadiri oleh sejumlah tokoh penting, termasuk Kepala Dinas Pariwisata Kota Batam, Ardi Winata, yang memberikan komentar positif terhadap film yang diputar, khususnya Tepian Mimpi.

“Filmnya sangat menghibur dan menyentuh. Sayang sekali durasinya terlalu singkat. Pas lagi menikmati, tahu-tahu sudah selesai,” ujar Ardi sambil tertawa. “Mungkin karena keterbatasan anggaran, ya. Tapi secara keseluruhan, ini sangat layak untuk ditonton dan dikembangkan lebih jauh,”tambahnya.

Sementara itu, Anggota DPD RI asal Kepulauan Riau, Dwi Ajeng Sekar Respaty, menyampaikan kebanggaannya bisa hadir dan berdialog langsung dengan para pembuat film muda Batam. Ia menilai karya-karya tersebut bukan hanya hiburan, tetapi juga refleksi nyata dari isu-isu penting yang selama ini jarang disentuh secara visual.

“Saya bangga bisa berada di tengah sineas muda Batam. Film-film ini berani mengangkat persoalan serius seperti pendidikan masyarakat pesisir dan perdagangan orang. Ini menjadi ruang diskusi yang sangat penting,” ujarnya.

Apresiasi juga datang dari perwakilan Badan Perlindungan Migran Indonesia (BPMI), yang memuji Tepian Mimpi karena berhasil menampilkan sisi emosional sekaligus edukatif dari isu Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Menurut mereka, film semacam ini sangat efektif untuk meningkatkan kesadaran publik mengenai bahaya praktik perdagangan orang yang masih marak terjadi, terutama di wilayah perbatasan seperti Kepri.

Pihak Polres Barelang yang turut hadir juga menyatakan kekaguman terhadap film tersebut, dan mengajak generasi muda untuk menjadi agen perubahan dalam mencegah TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang).

“Jangan mudah tergiur oleh janji manis. Film seperti ini bisa menjadi sarana kampanye yang kuat agar masyarakat lebih waspada. Harapan kami, film ini bisa diperluas durasinya dan ditayangkan secara nasional,” kata salah satu perwakilan Polres.

Cerita di Balik Layar: Suara dari Realitas

Salah satu film yang paling menyita perhatian malam itu adalah Tepian Mimpi, yang disutradarai oleh Pajri Andika. Dalam sesi diskusi, Pajri bercerita tentang awal mula ide film tersebut.

“Waktu pertama datang ke Batam, saya sering dengar cerita orang gila di jalanan itu katanya TKI dari Malaysia yang dipulangkan dalam keadaan tidak waras. Awalnya saya nggak percaya. Tapi lama-kelamaan saya mulai sering membaca berita soal TKI yang mengalami kekerasan, pelecehan, bahkan hilang kontak. Dari situ, saya sadar, ada banyak suara yang tak pernah terdengar. Maka lahirlah Tepian Mimpi,”ungkap Pajri.

Film tersebut menggambarkan mimpi dan tragedi yang dialami oleh mereka yang pergi merantau untuk mengubah nasib, namun justru kembali dalam keadaan hancur. Visual-visual yang disajikan dalam film pun mengundang empati, dan menjadi pengingat bahwa di balik angka-angka statistik migran, ada kehidupan manusia yang nyata.

Sementara itu, film Bodet karya Sarman menggambarkan kisah perjuangan seorang anak dari Suku Laut yang ingin bersekolah. Namun, impian itu tidak mudah diwujudkan karena orangtuanya menentang keras keinginannya, lebih percaya bahwa anak mereka sebaiknya tetap hidup di laut daripada belajar di darat. Cerita ini menjadi refleksi tentang konflik nilai antara tradisi dan pendidikan modern.

Mendorong Ruang Berkarya bagi Sineas Lokal

Acara ini menjadi bukti nyata bahwa Batam memiliki potensi besar dalam dunia perfilman, khususnya dalam membangun narasi-narasi lokal yang kuat. Banyak penonton berharap acara seperti ini bisa rutin diselenggarakan dan difasilitasi secara lebih luas.

“Kami ingin karya-karya ini bisa tayang di bioskop-bioskop lokal, festival nasional, bahkan internasional. Karena yang mereka sampaikan bukan hanya cerita, tapi juga realitas hidup masyarakat kita,” ujar salah satu penonton yang hadir.

Melalui layar lebar, para sineas muda Batam berhasil menyuarakan keresahan sosial yang kerap luput dari perhatian. Dari pesisir, dari laut, dan dari pinggiran mimpi. Mereka menyampaikan pesan yang menggugah bahwa semua orang berhak didengar. MK-mun

Redaktur : Munawir Sani