Tom Lembong Laporkan Hakim Tipikor, Ada Potensi Pidana

image-20250306110942

Mantan Mendag, Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong) menjalani sidang di Pengadilan Tipikor, Kamis (6/3/2025). (F: Bloomberg Technoz/Andrean Kristianto)

JAKARTA (MK) – Mantan Menteri Perdagangan, Tom Lembong, resmi melaporkan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta ke Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung. Laporan tersebut menyusul vonis 4,5 tahun penjara yang dijatuhkan kepada Tom dalam perkara dugaan korupsi impor gula.

Pengacara Tom, Ari Yusuf Amir, menyatakan laporan itu bukan sekadar rencana, melainkan sudah dikirim secara resmi lengkap dengan dokumen pendukung.

“Iya, kami sudah melaporkan ini, bukan sekadar kemungkinan. Surat-suratnya sudah kami sampaikan,” ujar Ari saat ditemui di Rutan Cipinang, Jumat (1/8/2025).

Ia menambahkan bahwa inti laporan bukan pada materi putusan, melainkan pada dugaan ketidakprofesionalan dan potensi pelanggaran etik oleh majelis hakim.

“Kita tidak sedang memperdebatkan hasil putusannya, tapi lebih pada proses dan integritas penegakan hukumnya. Ini menyangkut keadilan,” katanya.

Diketahui, Tom divonis 4,5 tahun penjara serta didenda Rp750 juta subsider 6 bulan kurungan. Namun, tak lama setelah itu, Presiden Prabowo Subianto memberikan abolisi atas pidana Tom, yang sebelumnya juga telah mendapat persetujuan dari DPR RI.

“DPR telah memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap permintaan abolisi dari Presiden melalui surat tertanggal 30 Juli 2025,” kata Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, di Kompleks Parlemen Senayan, Kamis (31/7/2025).

Analisa Hukum: Jika Terbukti Ada Intervensi, Hakim Dapat Dipidana

Seorang pakar hukum pidana menilai bahwa laporan terhadap hakim yang diajukan oleh Tom Lembong harus ditindaklanjuti secara serius oleh Komisi Yudisial (KY) dan Badan Pengawasan Mahkamah Agung (MA).

“Jika terbukti bahwa majelis hakim menerima intervensi dari pihak luar dan memengaruhi isi putusan, maka mereka tidak hanya melanggar kode etik, tapi juga bisa dijerat secara pidana,” ujarnya, Sabtu (2/8/2025).

Ia menjelaskan, berdasarkan Pasal 3 dan Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, setiap pejabat penyelenggara negara yang menyalahgunakan kewenangannya untuk menguntungkan pihak tertentu atau menimbulkan kerugian negara dapat dihukum pidana berat.

“Jika intervensinya berupa gratifikasi atau suap, maka ancaman hukumannya bisa mencapai 20 tahun penjara, bahkan seumur hidup,” jelasnya.

Selain jerat pidana, majelis hakim juga dapat dikenai sanksi etik berat apabila terbukti tidak independen dalam memutus perkara. Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) dengan jelas mewajibkan hakim bersikap imparsial dan bebas dari pengaruh eksternal dalam menjatuhkan vonis.

“Ini bukan hanya soal etika, tapi menyangkut integritas lembaga peradilan secara keseluruhan. Kalau terbukti, maka harus ada tindakan tegas,” kata sumber.

Ia menambahkan, publik harus mengawal kasus ini agar tidak menjadi preseden buruk dalam praktik hukum di Indonesia. MK-r

Redaktur: Munawir Sani