Pemerintah “Jual” Data Pribadi ke AS, Kedaulatan Tergadai, Hak Privasi Lenyap

6881fc36eaebb-airlangga-hartarto-saat-konpers-joint-statement-indonesia-as-di-kantornya_1265_711

Airlangga Hartarto saat Konpers Joint Statement Indonesia-AS (F: Mohammad Yudha Prasetya)

JAKARTA (MK) – Pemerintah Indonesia secara resmi membuka pintu bagi transfer data pribadi warga negara Indonesia (WNI) ke Amerika Serikat dalam sebuah kesepakatan dagang yang hingga kini belum sepenuhnya diungkap ke publik. Kesepakatan ini menimbulkan tanda tanya besar: apakah kedaulatan digital Indonesia sedang dikorbankan demi tarif dagang dan kepentingan ekonomi jangka pendek?

Pernyataan dari Gedung Putih menyebut bahwa Indonesia sepakat menghapus hambatan dalam perdagangan digital, termasuk memberikan akses langsung atas data pribadi masyarakat Indonesia kepada pihak Amerika Serikat. Data tersebut mencakup informasi yang diperoleh dari penggunaan mesin pencari, e-commerce, aplikasi digital, hingga aktivitas online lainnya—yang menurut Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, diunggah secara sukarela oleh pengguna.

“Kalau terkait dengan data pribadi itu sebetulnya merupakan praktik dari masyarakat pada saat daftar di Google, di Bing, e-commerce, dan yang lain, pada saat membuat email, akun. Itu kan data, upload sendiri,” ujar Airlangga dalam konferensi pers, Kamis (24/7).

Namun pernyataan ini justru memperlihatkan pengabaian terhadap prinsip dasar hak privasi dan perlindungan data. Fakta bahwa data pribadi diunggah oleh masyarakat tidak secara otomatis memberi kewenangan negara untuk memperdagangkannya. Bahkan, di banyak negara demokrasi maju, data pribadi dilindungi sebagai hak asasi manusia, bukan komoditas dagang.

Kedaulatan Data Dipertaruhkan, Hukum Nasional Dipelintir?

Dalam rilis resmi Gedung Putih, disebutkan bahwa Indonesia akan memberikan “kepastian” terhadap kemampuan AS untuk memindahkan data pribadi dari wilayah Indonesia, melalui pengakuan bahwa AS adalah “yurisdiksi yang memberikan perlindungan memadai” sesuai hukum Indonesia.

Namun, publik patut bertanya: atas dasar hukum dan mekanisme mana pemerintah menilai Amerika sebagai negara dengan perlindungan data yang “memadai”, ketika bahkan negara-negara Uni Eropa pun belum sepenuhnya mengakui perlindungan data AS setara dengan standar GDPR?

Lebih jauh, apakah Indonesia sedang secara diam-diam menggeser orientasi perlindungan data dari prinsip kedaulatan menuju prinsip komersialisasi global?

Privasi WNI Jadi Tumbal Tarif Perdagangan?

Kesepakatan ini muncul setelah Presiden AS saat itu, Donald Trump, memangkas tarif resiprokal dari 32% menjadi 19% bagi produk Indonesia. Sebagai imbal balik, pemerintah Indonesia setuju membuka akses data lintas batas dan menghapus sejumlah hambatan perdagangan digital.

Dengan kata lain, privasi warga negara dijadikan alat tawar-menawar dagang. Dalam narasi resmi pemerintah, kesepakatan ini dikemas dalam semangat “penguatan kerja sama ekonomi digital”, padahal pada intinya, data pribadi diposisikan sebagai aset negara yang bisa ditukar demi keuntungan ekonomi.

Airlangga berupaya meredam kekhawatiran publik dengan menyebut bahwa protokol keamanan digital telah dipersiapkan, seperti yang diterapkan di kawasan Nongsa Digital Park, Batam, dan bahwa transfer data akan tetap diawasi oleh otoritas Indonesia.

Namun, pernyataan ini dinilai normatif dan tidak menjawab substansi utama persoalan: apakah WNI pernah dimintai persetujuan bahwa datanya akan dikirim ke negara lain untuk dianalisis, digunakan, bahkan diperdagangkan? Di mana posisi consent atau persetujuan eksplisit sebagai prinsip utama perlindungan data?

Presiden Tak Menjawab, Rakyat Menunggu Transparansi

Ketika dimintai tanggapan soal transfer data pribadi ke AS, Presiden Prabowo Subianto tidak menjawab secara substansial. Ia hanya menyebut bahwa negosiasi masih berlangsung. “Ya nanti itu sedang di… negosiasi berjalan terus,” ujar Prabowo seusai acara Harlah PKB di JCC Senayan (23/7).

Jawaban yang menggantung ini justru memperkuat kecurigaan bahwa kesepakatan telah berjalan secara tertutup tanpa partisipasi publik, tanpa konsultasi dengan otoritas perlindungan data, dan tanpa pengawasan legislatif.

Dalam dunia digital, data adalah kekayaan baru. Maka saat pemerintah menyerahkannya ke pihak asing, kita patut bertanya: milik siapa sebenarnya data warga negara?

Apakah negara masih menjadi pelindung warganya, atau justru menjadi makelar data untuk keuntungan sesaat?

Jika data pribadi benar-benar telah dijadikan alat dagang, maka ini bukan sekadar kebocoran data. Ini adalah penjualan kedaulatan. Bukan cuma tentang keamanan digital, tapi juga tentang hak-hak dasar warga negara yang perlahan dilucuti tanpa disadari. MK-r

Redaktur: Munawir Sani